22 November 2018

JASA DAN SEJARAH KYAI ROGOSASI TUMANG

Nun jauh di Bumi Jawa ada sebuah komunitas masyarakat yang menurut cerita bernama Kerajaan Mataram.  Konon kerajaan itu bekas hutan liar dan lebat bernama alas Mentaok.   Alas yang menunjukkan tempat tumbuhan liar serta hewan hewan liar.  Namun karena merupakan hadiah dari Mas Karebet maka Ki Ageng Pemanahan harus menerimanya. Itupun dengan boikot terhadap kehadirannya terhadap Mas Karebet yang tak lain saudara seperguruan Sunan Kalijaga. Tanpa biaya sepeserpun Pemanahan harus membuka alas Mentaok dibantu keluarga dan orang orang yang simpati pada Ki Ageng Pemanahan. Susah dan berat memang karena perlengkapan seadanya tanpa upah mereka bekerja keras ada yang luka, ada yang sakit bahkan akhirnya harus merelakan nyawanya demi tanah yang bernama Mataram.  

Karena memang Sultan Hadiwijaya tidak pernah merelakan Mentaok diberikan pada Pemanahan takut kewibawaan dan ketenarannya tersaing oleh Pemanahan bahkan Pemanahan dipaksa berjanji tidak akan mendirikan Negara sendiri karena Sunan Giri menjadi saksi maka Pemanahanpun menerimanya dengan rasa jengkel terhadap adik seperguruannya itu untuk mengelabuhi Hadiwijaya dia cukup menggunakan gelar Ki Gede saja sampai wafat. Dan eloknya Sultan Hadiwijaya yang terkenal tampan sakti itu tidak menghadiri pemakamannya, namun puteranya yang bernama Sutawijaya tidak menujukkan kebencian pada ayah angkatnya itu malah kemudian sowan kepada Hadiwijaya mengabarkan bahwa ayahandanya tang tercintah telah tiada. 

Tanpa ekspresi Hadiwiaya hanya menganggukkan kepala dan berkata datar “Ya kalau begitu kamu saja penggantinya, beres kan..!“ Setelah menyembah pada ayah angkatnya itu Sutawijaya pergi meninggalkan Pajang tanpa berkata apa-apa, dan Hadiwijayapun juga tidak bicara sepatah katapun. Mataram dibawah pemerintahan Raja Pandita Sang Hyang Panembahan Senopati memang maju pesat. Apalagi kota Gede mulai ramai perdagangan. 

Dari salah seorang isterinya lahirlah seorang putera yang diberina nama Rogowulan. Seperti anak pangeran lain dia digurukan pada seseorang yang bernama Ki Wonosegoro untuk menerima pelajaran ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Tata Negara.  Walaupun dia pandai tetapi tidak pernah terpikirkan untuk duduk menjadi seorang pejabat tinggi negara bahkan ingin meniru sikap pamannya si Pangeran Singosari yang rela melepaskan jabatan sebagai panglima kerajaan. Sebuah jabatan hebat sesudah penguasa tertinggi di Mataram.

Ia melihat pamannya menjadi guru ngaji di daerah utara kerajaan Mataram yang bernama gunung Pring.  Atribut keluarga kerajaanpun ditinggalkannya berganti julukan dengan nama kyai Raden Santri.  Rupanya adik dari ayahandanya ini telah menjadi idiola baginya, maka ketika dikeraton terjadi pertengkaran antar saudara dia memilih pergi daripada berebut jabatan ia sudah sangat muak dengan kemunafikan.  Muak dengan tipu muslihat dan bosan melihat para pejabat tinggi mencari muka dihadapan sang panembahan dengan tujuan agar jabatannya tidak pernah digantikan oleh yang lain. Tanpa pamit Pangeran Rogowulan pergi kearah gunung Damalung (sekarang Merbabu) meninggalkan atribut kebesaran sebagai pangeran bahkan mengganti namanya dengan Rogosasi.  

Nama lain Rogo Wulan bahkan harus meninggalkan puluhan kuda kesayangannya.  Ia ingin mencari ketenteraman hidup dengan menjalani perjalanan hidup sejati sebagai rakyat biasa yang lugu dan polos “Alangkah damainya…".  Ia berjalan dengan alas kaki kulit yang belum disamak menuju sebuah hutan dilereng gunung Damalung.  Ia melewati semak belukar dan terasa ada luka menggores dikulitnya. Ia pun mengobati lukanya dengan daun petai Cina yang dikunyah kunyah campur ludah dan ditempelkan pada lukanya. Luka badan tidak dirasa tetapi luka pedih sangat dirasakan tatkala teringat beberapa saudaranya memfitnah dan menyindir dengan mengatakan “Ah kamu sok suci Rogowulan..!” Memang sikapnya yang jujur dan tegas sangat tidak disukai saudara-saudaranya karena sikap itu sangat membahayakan kepentingan beberapa saudaranya yang ternyata berhati culas, selalu mengambil muka dihadapan ayahandanya dan mencari kejelekan tentang dirinya. 

Perlahan Rogosasi menghapus semua trauma itu dengan berkata pada dirinya sendiri “Aku harus menjadi manusia yang mulia dibandingkan mereka dan buat apa harta dan jabatan jika membuat hati menjadi sengsara”.  Sesampainya diatas bukit itulah terlihat olehnya kelihatan ada tempat yang penuh keramat dan angker. Kata penduduk sekitar menjadi pusat kerajaan jin namun Rogosasi tidak menghiraukan perkataan penduduk setempat bahkan ada seorang yang sudah tua berkata setengah membentak “Kalau kamu tidak pecaya ya sudah…! apa kamu berani menanggung resikonya...?” dengan berkata pelan Rogosasi menjawab “Jika Tuhan menghendaki nyawaku hilang disini, aku pun tidak masalah bapak”. Orang tua itu menjawab dengan sinis “Dasar anak tidak tahu diuntung, terserah padamu tetapi ingat aku sudah menasehati dirimu kalau ada apa-apa jangan salahkan aku..!” sembari pergi meninggalkan Rogosasi.

Ketika tiba dibukit itu ia melihat kejauhan gunung Damalung mengepulkan asapnya kehitaman dan berkata dalam hati “Semoga Tuhan menjinakkan engkau wahai Damalung…!“ Rogosasi mencari kayu dan alat seadanya membuat rumah kecil dan ia pun mendapatkan ijuk yang kemudian dijadikan atap rumahnya.  Hampir sebelas hari ia membuat rumah.  Ketika malam tiba menggesekkan batu pada daun kering sehingga terpecik api yang menyala dan binatang melata beracun menyingkir dari rumahnya. 

Disekitar rumahnya Rogosasi kesulitan mencari air karena aliran air dari mata air terhalang oleh suatu anak bukit dengan tanah wadas.  Maka ia berdoa kepada Tuhan untuk memberikan jalan yang terbaik.  Malam hari Rogosasi bermimpi didatangi seekor landak putih dari gunung Merapi. Hewan itu berkata dalam mimpinya “Wahai manusia yang mulia…! kamu harus mengikuti langkahku dan kamu akan menemukan mata air dengan tanda kotoranku…!” Dalam mimpimya Rogosasi melihat hewan tersebut menerobos tanah wadas itu dan memberikan tanda kotoran, sehingga sampai sekarang masyarakat menamakan “Tuk Singi” artinya suber mata air yang diberi tanda tinja landak putih. 

Dengan berbekal peralatan secukupnya ia mulai menggali dengan penuh semangat namun hasilnya tidak sesuai yang diharapkan “Batu padas ini terlalu keras...!” gumamnya. Ulah Rogosasi ini kemudian dilihat oleh beberapa orang yang sedang mencari kayu dan bertanya pada Rogosasi “Sedang apakah engkau ki sanak? “ tanpa menoleh Rogosasi menjawab, “Mencari karunia Tuhan yaitu sepercik air".  Kemudian salah satu orang itu berkata “Apakah kamu sudah tidak waras dengan menggali tanah keras untuk mendapatkan air?” Namun Rogosasi tidak menjawab dan terus bekerja menggempur tanah wadas itu entah yang keberapa kali. Orang-orang itu hanya terpaku dan tertegun melihat Rogosasi yang tidak pernah masuk akal. “Kalau engkau bernalar, bantu aku atau tinggalkan aku..!“ Maka seperti tersihir, orang-orang itu perlahan membawa cangkul dan membantu Rogosasi. 

Hari telah sore dan Rogosasi berkata pada orang orang itu “Kiranya kita manusia biasa, kita butuh istirahat...!” sambil menyeka keringat yang bercucuran dan kemudian mengganti bajunya yang kumuh. Orang-orang itu mendekat pada Rogosasi “Kyai.., kalau diijinkan aku ingin membantu Kyai menyelesaikan pekerjaan ini". Rogosasi terkejut karena disebut dengan nama Kyai dan kemudian tertawa dalam hati “Rupa-rupanya orang-orang ini menganggap aku memiliki kelebihan padahal belajar ngaji saja belum tamat...!” Kemudian Rogosasi mempersilahkan orang-orang itu untuk istirahat digubuknya “Silahkan ki sanak tidur seadanya”. 

Malam telah tiba. Mereka tertidur lelap karena kelelahan dan ketika fajar tiba Kyai Rogosasi berdoa kepada Tuhan “Ya Tuhan semoga niat baikku engkau kabulkan...! amien". Sambil mengusapkan tangan pada mukanya. Ketika matahari menyingsing orang-orang itu telah terbangun dan kemudian mengambil peralatan untuk meneruskan pekerjaanya. Tepat ketika matahari diatas, terpancarlah air dengan derasnya dan merekapun kagum heran sekali. “Tidak usah heran ki sanak, kalau Tuhan mengijinkan bukanlah hal yang sukar …!”

Berita ditemukannya mata air tadi didengar oleh masyarakat yang tinggal dilereng gunung Merapi sehingga mereka berbondong-bondong pindah disekitar rumah Rogosasi. Karena memang dirasa sekitar Merapi sulit didapatkan air, maka tidaklah mengherankan mereka beramai ramai pindah disekitar mata air tersebut. Suasana daerah itu menjadi ramai, namun Rogosasi belum menemukan nama yang tepat untuk daerah itu.

Keberadaan Rogosasi dikaki gunung Damalung didengar oleh Panembahan Senopati. Ia merasa kasihan mengapa anaknya harus hidup seperti itu. Kemudian beliau mengutus salah seorang puteranya dan berkata, “Wahai puteraku tolong bawalah saudaramu Rogowulan kembali ke keraton Mataram!“ dengan menghaturkan sembah “Kulaksanakan titah paduka ayah". Walau dalam hati ia sangat benci dengan adiknya karena khawatir jika pulang keraton ayahnya akan memberikan pangkat dan jabatan dan tentu saja ini menjadi saingan baginya. 

Dengan dikawal empat puluh prajurit pengeran itu pergi gunung Damalung. Tidak sampai sehari telah sampai dikediaman Rogosasi dengan berpura-pura manis mengucapkan kata salam hangat “Wahai adindaku sudah lama kita tidak bertemu, kakanda sangat rindu“. Dan ia langsung memeluk Rogosasi, serta membalas berkata, “Wahai kakanda...karena Tuhan, kita dapat bertemu, lantas ada gerangan apakah kakanda bertemu ditempat yang kotor ini?” pangeran itu menjawab, “Adinda Rogowulan ayahanda Panembahan rindu sekali padamu dan menghendaki adinda pulang kembali ke Mataram..” 

Dengan diplomatis Rogosasi menjawab “Kakanda pangeran aku juga rindu ayahanda namun maaf beribu maaf aku tidak bisa mengikuti perintah ayahanda, bukannya membantah tapi aku sedang melaksanakan tugas mulia disini ‘sambil melihat orang-orang. “Lihatlah kakanda orang-orang itu sangat memerlukan aku, maka sampaikan salam dan permintaan maaf pada ayahanda Panembahan, aku tidak bisa pulang ke Mataram..!” Kemudian pangeran itu berkata, “ Baiklah adinda Rogowulan sebenarnya aku sangat berat mendengar keputusanmu tapi itu memang ketetapan hatimu aku tidak akan menghalanginya.“ 

Dalam hati ia bersorak ternyata Rogosasi menolak, legalah hatinya. "Baiklah adinda, kakanda mohon pamit dahulu.“ katanya.  "Terimakasih kakanda yang telah sudi hadir ditempatku digubug reot ini". Kemudian ia mengepuk-ngepuk bahu Rogosasi.  Ia naik kuda kesayangnya “Prajurit kita kembali ke Mataram ..! “ Prajurit menjawab serentak, “Siap gusti………….!” Perlahan lahan pangeran itu lenyap dari padangan matanya.

Pada malam harinya Kyai Rogosasi bertafakur dan berdzikir pada Tuhan dan tak terasa akhirnya tertidur. Dalam mimpinya bertemu dengan dua makhluk Jin dan memperkenalkan diri Jin Hantu dan Jin Kemamang. “Hai manusia kalau engkau ingin selamat maka cepat tinggalkan tempat ini..!” kyai Rogosasi menjawab, ”Hanya Tuhanlah yang berhak mengusir atau menempatkan aku disini".  Akhirnya kedua Jin itu marah dan menyerang kyai Rogosasi. Mata merah menyala, rambut mengeluarkan api membuat bulu kuduk berdiri mengerikan. 

Kyai Rogosasi hanya diam melantunkan ayat-ayat Tuhan dan serangan kedua Jin itu sia-sia. Rogosasi berkata “Wahai saudara Jin, kita sama-sama makhluk Tuhan, mengapa saling mencelakakan, bukanlah kita dititahkan hidup berdampingan?” Akhirnya kedua jin itu berhenti. “Kyai...memang aku diciptakan untuk mencelakakan manusia tetapi melihat ketulusan hatimu aku menyerah dan aku akan pergi meninggalkan tempat ini…” Lenyaplah kedua Jin tersebut. Rogosasi terbangun dari tidurnya "Ah.. rupanya aku hanya bermimpi..” Ia bangun dan mengambil air wudhu kemudian menghadap wajahnya pada ilahi. “Ya Tuhan berkat petunjukmu aku mendapatkan gambaran tentang nama tempat tinggalku” 

Matahari mulai nampak sinarnya. Orang-orang di desa itu bersiap-siap melaksanakan tugasnya masing-masing. Tetapi kemudian Rogosasi menghentikan mereka, “Wahai sahabat-sahabatku, aku ingin pendapatmu". Salah satu kemudian bertanya “Ada apa kyai?” Kyai Rogosasi berkata, “Tadi malam aku mendapatkan petunjuk dari Tuhan, yaitu aku bermimpi perang dengan dua makhluk jin dan mereka memperkenalkan diri Jin Hantu dan Jin Kemamang. Namun berkat ridho Tuhan, mereka akhirnya menyerah“.  Orang-orang itu berdecak kagum. “Lantas maksud kyai?” salah satu bertanya.

”Jika teman-teman tidak keberatan desa ini kuberi nama Tu-Mang, berasal dari nama kedua jin tersebut bagaimana?’" Dan serentak mereka menjawab “Setuju kyai..!” Dan sebagian lain berkata “Cocok kyai. Akan kita umumkan pada orang-orang yang berdagang disini bahwa desa ini telah memiliki nama yang sangat bagus“. Kyai Rogosasi berkata kembali, “Baiklah kawan-kawan, kita jangan dininabobokkan dengan nama desa ini. Mari kita kembali pada pekerjaan kita masing-masing“. Orang-orang itu kemudian beranjak pergi meninggalkan kyai Rogosasi seorang diri. Entah apa yang menjadi pikiran dibenaknya.
***

Diceritakan oleh: Kanjeng Raden Surojo Lebdo Jiwo 
(Anggota Tim Museum Hamong Wardoyo Boyolali) 

1 komentar:

Berkomentarlah secara bijaksana dan sesuai topik pembahasan.