21 November 2018

KISAH KI AGENG GIRING DAN KELAPA NUNGGAL

Pada zaman itu ketika Majapahit runtuh ada dua orang yang masih mempunyai trah darah biru melarikan diri ke arah Barat karena kejaran prajurit Raden Patah yang telah menghancurkan Majapahit.  Dua orang yang tergolong sakti itu Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan.  Kedua orang itu terus menetap di pesisir pantai selatan wilayah kabupaten Gunung Kidul, tepatnya di Desa Palihan.  Mereka menyamar sebagai petani biasa.  Namun karena sering menolong penduduk setempat, mereka ditokohkan oleh warga setempat.

Sebagai mantan bangsawan yang sakti, walau telah menjadi petani di tempat barunya, kedua orang ini tak pernah lupa untuk melakukan semedi atau tapa brata.  Pada waktu itu, lokasi yang sering digunakan keduanya untuk bertapa adalah sebuah tempat yang disebut Kembang Lampir.

Tidak jarang mereka bareng saat melakukan tapa.  Pada saat sedang laku tapa secara bersama-sama itulah mereka sama-sama mendapatkan Wahyu Keprabon.  Isi daripada wahyu itu, siapapun yang bisa mendapatkan pohon kelapa dan buahnya tunggal serta meminum airnya sampai habis dalam waktu seketika, maka kelak keturunannya akan menjadi raja-raja tanah Jawa setelah Majapahit.

Begitu sama-sama menerima wahyu seperti itu, keduanya langsung meninggalkan Kembang Lampir untuk mencari pohon kelapa berbuah tunggal.  Tapi sebelum mencari itu, keduanya pulang ke rumah dulu untuk berpamitan pada istri masing-masing.  Saat pulang ke rumah itulah, secara kebetulan Ki Ageng Giring menemukan pohon kelapa berbuah tunggal yang tak jauh dari rumahnya.  Namun karena buah kelapa itu cukup besar, sebelum meminum airnya dia terlebih dahulu mencangkul dengan maksud agar betul-betul merasa haus, sementara buah kelapa itu dia sembunyikan di atas tungku, tempat memasak yang lazim disebut pogo.

Akan tetapi, pada saat Ki Ageng Giring mencangkul ladang, Ki Ageng Pemanahan datang ke rumah Ki Ageng Giring.  Begitu bertemu istri dari Ki Ageng Giring, Ki Ageng Pemanahan bertanya apakah Ki Ageng Giring sudah mendapatkan kelapa.  Istri Ki Ageng Giring yang tidak tahu jika kelapa itu mempunyai arti yang besar langsung mengatakan sudah.  Bahkan istri dari Ki Ageng Giring juga mengatakan jika buah kelapa itu ditaruh oleh suaminya di atas pogo.

Mendapat penjelasan seperti itu dari istri Ki Ageng Giring, Ki Ageng Pemanahan langsung menuju dapur untuk mengambil buah kelapa yang di dapat sahabatnya.  Seterusnya, air buah kelapa itu langsung diminum.  Bersamaan itu, Ki Ageng Giring pulanng dari mencangkul di ladang.  Begitu memergoki jika air kelapa yang didapat tengah diminum Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Giring langsung berusaha merebutnya.

Namun air kelapa itu keburu habis diminum Ki Ageng Pemanahan.  Sehingga, Ki Ageng Giring marah dan sempat terjadi pertengkaran mulut di antara keduanya.  Hanya saja setelah merasa percuma terus bertengkar karena air kelapa yang mengandung Wahyu Keprabon itu sendiri sudah habis, Ki Ageng Giring akhirnya minta pada Ki Ageng Pemanahan, agar keturunannya kelak juga diberi kesempatan menjadi raja tanah Jawa.  Diminta seperti itu, Ki Ageng Pemanahan menjawab, jika Tuhan mengizinkan.

Air kelapa itu memang benar-benar mengandung Wahyu Keprabon.  Karena setelah Ki Ageng Pemanahan mengabdi di kerajaan Pajang, putranya yang bernama Sutowijoyo berhasil memenangkan sayembara yang diadakan oleh Sultan Pajang Hadiwijoyo alias Joko Tingkir.  Isi sayembara itu, barang siapa yang berhasil membunuh Adipati Jipang Panolan, yakni Aryo Penangsang, maka akan diberi hadiah tanah di hutan Mentaok.  Dan Sutowijoyopun akhirnya mendapatkan hadiah tanah hutan.

Hutan itu kemudain dibabat dan dijadikan perkampungan penduduk.  Kesuburan tanah Mentaok itu melebihi kesuburan tanah daerah Pajang.  Karena itu, banyak kawula pajang yang berpindah ke Mentaok.  Karena wilayahnya semakin ramai, Sutowijoyo tak mau lagi sowan ke Pajang.  Sikapnya itu merupakan pemberontakan secara halus.  Selain itu Sutowijoyo juga memberi nama hutan yang telah dibabatnya itu dengan nama Mataram.  Sehingga, Sutowijoyo akhirnya dinobatkan oleh masyarakat sempat sebagai Raja Mataram pertama dengan gelar Panembahan Senopati.  Dan dengan berdirinya Mataram, perlahan namun pasti Pajang langsung surut.  Sutowijoyo inilah yang kemudian menurunkan raja-raja di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta.

Majalah Wahana Mistis No. 115/VI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan sesuai topik pembahasan.