Kata primbon berasal dari kata dasar imbu yang berarti “memeram buah agar matang”, yang kemudian mendapat imbuhan “pari” dan akhiran “an” sehingga terbentuk kata primbon. Secara umum, primbon diartikan sebagai buku yang menyimpan pengetahuan tentang berbagai hal. Wojowasito dan Poerwadarminta (1980:211) memberikan definisi primbon sebagai “buku yang memuat astrologi dan mantera”. Isi primbon berupa aneka ragam pengetahuan yang berkaitan dengan kebutuhan sehari-hari untuk tujuan mendapatkan keselamatan (Sutrisno, 1961:3). Secara garis besar primbon berisi masalah yang berhubungan dengan kelahiran, perkawinan, kematian, dan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam (Sublidinata, 1985:55), termasuk di antaranya tentang penyakit dan pengobatannya.
Karena itu, di dalam primbon pun ditemukan petunjuk-petunjuk untuk mendapatkan kesehatan dengan pengobatan dan resepresepnya resepresepnya. Dalam tradisi Jawa, primbon biasanya dimiliki oleh tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap sebagai “intelektual” di zamannya seperti tetua adat, tokoh masyarakat, dukun, guru kebatinan, dan sebagainya. Primbon mempunyai sejarah yang cukup panjang di dalam tradisi Jawa. Setidak-tidaknya pada abad ke-8, suku Jawa telah mengenal primbon yang terbukti dari adanya prasasti di Candi Perot (772), Haliwangbang (779), dan Kudadu (1216) (Subalidinata, 1985:52-53). Namun primbon terlengkap dalam tradisi Jawa baru ditulis pada zaman Kartasura berupa Serat Centhini. Karena itu, di samping dapat dikatakan sebagai salah satu perwujudan primbon, serat ini juga dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk ensiklopedi khas Jawa.
Cara membuat air keramat
Berbagai jenis resep obat dan pengobatan juga terdapat dalam Serat Centhini. Hal ini dapat dimengerti karena serat ini merupakan serat yang berupa akumulasi berbagai pengetahuan dari berbagai sumber. Serat Centhini ditulis atas perintah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunegara III yang memerintah Surakarta (1820 - 1823). Dia adalah putra Ingkang Sinuhun Paku Buwana IV (1788 - 1820). Yang memimpin penyusunan serat ini adalah Ki Ngabehi Ranggasutrasna. Yang mendampingi adalah Raden Ngabehi Yasadipura, Raden Ngabehi Sastradipura. Yang membantu adalah Pangeran Jungut Mandurareja dari Klaten, Kiai Kasan Besari dari Panaraga, dan Kiai Mohammad Minhad dari Surakarta (Amangkunegara III, 1992: iii - iv).
Dalam Serat Centhini ini, di antaranya juga ditemukan berbagai hal tentang model pengobatan yang terjadi di Tengger. Di Tengger diceritakan tidak ada dukun. Bila ada orang yang sakit atau akan melahirkan, pangulu yang menolongnya dengan memberinya minum air suci dari Gunung Brama. Badan yang sakit kemudian diusap dengan air suci tersebut yang menjadikannya sembuh berkat kekuasaan Hyang Bathara (Adisasmita, 1979:17, Amangkunegara III,1992:223). Pada Jilid II pupuh 48, diceritakan tentang Mas Cebolang yang bertemu dengan seorang ulama dari Jatisari bernama Ki Harjana yang memberikan wejangan tentang cara-cara merawat dan mengistirahatkan orang sakit (tirah) (Adisasmita, 1979:25). Di samping dalam Serat Centhini, masih ada berbagai resep obat dan pengobatan yang tercantum di dalam primbon-primbon.
Cara mengembalikan barang yang hilang
Primbon-primbon tersebut sebagian sudah diterbitkan, tetapi sebagian lagi masih tersimpan sebagai manuskrip di berbagai tempat penyimpanan. Dewasa ini primbon perlu mendapat pengkajian serius karena dikhawatirkan akan lenyap ataupun tidak dikenal. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa primbon yang asli biasanya ditulis dalam tulisan yang sudah jarang digunakan secara luas (biasanya dengan huruf Jawa, kadang-kadang juga dengan huruf pegon). Primbon biasanya juga ditulis dengan menggunakan pengantar bahasa daerah (Jawa). Beberapa primbon yang tersimpan di tempat-tempat tertentu kadang-kadang masih bersifat rahasia (misalnya primbon di kraton, dan sebagainya) yang menjadikan sulit dijangkau masyarakat luas.
Humaniora Volume XIV, No. 1/2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan sesuai topik pembahasan.