Dalam kenyataannya, para wali telah merumuskan strategi dakwah atau strategi kebudayaan secara lebih sistematis, terutama bagaimana menghadapi kebudayaan Jawa dan Nusantara pada umumnya yang sudah sangat tua, kuat, dan sangat mapan. Ternyata, para wali memiliki metode yang sangat bijak. Mereka memperkenalkan Islam tidak serta merta, tidak ada cara instan, karena itu mereka merumuskan strategi jangka panjang. Tidak masalah kalau harus mengenalkan Islam pada anak-anak. Sebab, mereka merupakan masa depan bangsa. Dalam hal ini, tentu dibutuhkan ketekunan dan kesabaran. Dalam strategi dakwah yang digunakan para wali dan kemudian diterapkan di dunia pesantren, para kyai, ajengan, atau tuan guru mengajarkan agama dalam berbagai bentuk.
Dalam dunia pesantren, diterapkan fiqhul ahkâm untuk mengenal dan menerapkan norma-norma keislaman secara ketat dan mendalam, agar mereka menjadi muslim yang taat dan konsekuen. Tetapi, ketika masuk dalam ranah masyarakat, diterapkan fi qhul dakwah, ajaran agama diterapkan secara lentur, sesuai dengan kondisi masyarakat dan tingkat pendidikan mereka. Dan, yang tertinggi adalah fi qhul hikmah, di mana ajaran Islam bisa diterima oleh semua kalangan, tidak hanya kalangan awam, tetapi juga kalangan bangsawan, termasuk diterima oleh kalangan rohaniwan Hindu dan Buddha serta kepercayaan lainnya.
Para wali sebagaimana para nabi, bukan rohaniwan yang hanya tinggal di padepokan dan asrama, tetapi selalu mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mendalami ilmu, sekaligus menyiarkan Islam. Mereka itu ibarat danau, memiliki kerohanian yang mendalam dan pemikiran serta hati yang jernih. Karena itu, mereka selalu didatangi orang-orang yang membutuhkan kedamaian rohani. Selain itu, mereka juga seperti sungai yang mengalirkan air dari danau ke seluruh lapisan masyarakat, sehingga mereka yang jauh dari mata air dan jauh dari danau pun, bisa tersirami rohaninya.
Kemampuan para wali menggalang kepercayaan umat melalui perjalanan dakwah yang tidak kenal lelah dibarengi apresiasi yang sangat tinggi pada agama lama: Hindu, Buddha, Tantrayana, Kapitayan maupun lainnya, dan kematangannya dalam mengelola budaya, membuat ajakan mereka diterima oleh hampir seluruh penduduk Nusantara. Apalagi, masing-masing wali memiliki tugas dan peran sendiri-sendiri, sehingga tidak ada bidang strategis yang luput dari perhatian mereka, mulai dari soal kerohanian, tata kemasyarakatan, strategi kebudayaan, pengaturan politik kekuasaan, usaha peningkatan perekonomian, pengembangan kesenian, dan sebagainya. Strategi para wali dalam mengembangkan ajaran Islam di bumi Nusantara dimulai dengan beberapa langkah strategis.
Pertama, tadrîj (bertahap). Tidak ada ajaran yang diberlakukan secara mendadak, semua melalui proses penyesuaian. Bahkan, tidak jarang secara lahir bertentangan dengan Islam, tapi ini hanya strategi. Misalnya, mereka dibiarkan minum tuak, makan babi, atau memercayai para danyang dan sanghyang. Secara bertahap, perilaku mereka itu diluruskan.
Kedua, ‘adamul haraj (tidak menyakiti). Para wali membawa Islam tidak dengan mengusik tradisi mereka, bahkan tidak mengusik agama dan kepercayaan mereka, tapi memperkuatnya dengan cara yang islami. Para wali sadar betul bahwa kenusantaraan yang multietnis, multi budaya, dan multi bahasa ini bagi mereka adalah anugerah Allah yang tiada tara. Belum lagi kondisi alamnya yang ramah, iklimnya yang tropis, tidak ekstrem: tidak terlalu panas tidak pula terlalu dingin. Ditambah dengan keanekaragaman hayati yang sangat kaya sumber mineral. Ini yang mereka pahami, sehingga mereka mensyukurinya dengan tidak merusak budaya yang ada atas nama Islam dan sebagainya. Ini sesuai dengan perintah Allah sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surah an-Naml [27]: 40:
“Ini termasuk anugerah Tuhanku untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya)”
Tentu saja anugerah agung ini patut disyukuri dengan dilestarikan dan dikembang-kan; bukan diingkari dengan dibabat dan dihancurkan atas nama kemurnian agama atau atas nama kemodernan. Islam hadir justru merawat, memperkaya, dan memperkuat budaya Nusantara sehingga bisa berdiri sejajar di samping peradaban dunia yang lain.
Agus Suyoto, "Atlas Walisongo", 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan sesuai topik pembahasan.