20 September 2019

STRATEGI DAKWAH PARA WALI

Dalam kenyataannya,  para  wali  telah  merumuskan  strategi  dakwah  atau strategi kebudayaan secara lebih sistematis, terutama bagaimana menghadapi kebudayaan Jawa dan Nusantara pada umumnya yang sudah sangat tua, kuat, dan  sangat mapan.  Ternyata,  para  wali memiliki metode yang  sangat  bijak. Mereka memperkenalkan   Islam tidak serta merta, tidak ada cara instan, karena itu mereka merumuskan  strategi  jangka  panjang.  Tidak masalah  kalau  harus mengenalkan Islam pada  anak-anak.  Sebab, mereka merupakan masa depan bangsa. Dalam hal ini, tentu dibutuhkan ketekunan dan kesabaran. Dalam strategi dakwah yang digunakan para wali dan kemudian diterapkan di  dunia  pesantren,  para  kyai,  ajengan,  atau  tuan  guru mengajarkan  agama dalam  berbagai bentuk.  

Dalam  dunia  pesantren,  diterapkan  fiqhul  ahkâm untuk mengenal  dan menerapkan norma-norma  keislaman  secara  ketat  dan mendalam,  agar  mereka  menjadi  muslim  yang  taat dan  konsekuen.  Tetapi, ketika  masuk  dalam  ranah  masyarakat,  diterapkan  fi  qhul  dakwah, ajaran agama diterapkan secara lentur, sesuai dengan kondisi masyarakat dan tingkat pendidikan mereka. Dan, yang  tertinggi adalah fi  qhul hikmah, di mana ajaran Islam bisa diterima oleh  semua kalangan,  tidak hanya kalangan awam,  tetapi juga kalangan bangsawan, termasuk diterima oleh kalangan rohaniwan Hindu dan Buddha serta kepercayaan lainnya. 

Para wali sebagaimana para nabi, bukan rohaniwan yang hanya tinggal di padepokan dan asrama, tetapi selalu mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mendalami  ilmu,  sekaligus menyiarkan  Islam. Mereka  itu  ibarat danau, memiliki  kerohanian  yang mendalam  dan  pemikiran  serta  hati  yang jernih.  Karena  itu, mereka  selalu  didatangi  orang-orang  yang membutuhkan kedamaian rohani. Selain itu, mereka juga seperti sungai yang mengalirkan air dari danau ke seluruh lapisan masyarakat, sehingga mereka yang jauh dari mata air dan jauh dari danau pun, bisa tersirami rohaninya. 

Kemampuan para wali menggalang kepercayaan umat melalui perjalanan dakwah  yang tidak  kenal  lelah  dibarengi  apresiasi  yang  sangat  tinggi  pada agama  lama: Hindu, Buddha, Tantrayana,    Kapitayan  maupun  lainnya,  dan kematangannya dalam mengelola budaya, membuat ajakan mereka diterima oleh  hampir  seluruh  penduduk    Nusantara.  Apalagi,  masing-masing wali memiliki tugas dan peran sendiri-sendiri, sehingga  tidak ada bidang  strategis yang  luput dari perhatian mereka, mulai dari  soal  kerohanian,  tata  kemasyarakatan,  strategi  kebudayaan, pengaturan politik kekuasaan, usaha peningkatan perekonomian, pengembangan kesenian, dan sebagainya. Strategi para wali dalam mengembangkan ajaran   Islam di bumi   Nusantara dimulai dengan beberapa langkah strategis. 

Pertama,  tadrîj  (bertahap). Tidak ada ajaran yang diberlakukan secara mendadak, semua melalui proses penyesuaian. Bahkan,  tidak  jarang  secara  lahir bertentangan  dengan    Islam,  tapi  ini  hanya strategi. Misalnya, mereka dibiarkan minum tuak, makan babi, atau memercayai para danyang dan sanghyang. Secara bertahap, perilaku mereka itu diluruskan. 

Kedua, ‘adamul haraj (tidak menyakiti). Para wali membawa   Islam tidak dengan mengusik  tradisi  mereka,  bahkan  tidak  mengusik  agama  dan  kepercayaan mereka, tapi memperkuatnya dengan cara yang islami. Para wali sadar betul bahwa kenusantaraan yang multietnis, multi budaya, dan multi bahasa ini bagi mereka adalah anugerah Allah yang tiada tara. Belum lagi kondisi  alamnya  yang  ramah,  iklimnya  yang  tropis,  tidak  ekstrem:  tidak terlalu panas tidak pula terlalu dingin. Ditambah dengan keanekaragaman hayati yang sangat kaya sumber mineral.  Ini yang mereka pahami, sehingga mereka mensyukurinya dengan  tidak merusak budaya yang ada atas nama Islam dan sebagainya.  Ini  sesuai dengan perintah Allah  sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surah an-Naml [27]: 40:

“Ini termasuk anugerah Tuhanku untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya)” 

Tentu  saja  anugerah  agung  ini  patut  disyukuri  dengan  dilestarikan  dan dikembang-kan; bukan diingkari dengan dibabat dan dihancurkan atas nama kemurnian  agama  atau  atas  nama  kemodernan.    Islam  hadir  justru merawat, memperkaya, dan memperkuat budaya   Nusantara sehingga bisa berdiri sejajar di samping peradaban dunia yang lain. 

Agus Suyoto, "Atlas Walisongo", 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan sesuai topik pembahasan.