24 September 2019

BIOGRAFI HABIB USMAN BIN YAHYA

(Pekojan, Jakarta 17 Rabiul Awal 1238 H / 1822 M-1331 H / 1913 M)
Dijakarta pada pertengahan abad 18 muncul seorang habaib karismatik.  Ia adalah Habib Usman bin Yahya., yang pernah menjadi mufti Batavia di zaman Belanda.  Para habib, khususnya ulamanya, sejak ratusan tahun punya hubungan karab dengan para ulama, kyai, santri, dan ustadz asli Betawi.  Sejak datang dari Hadramaut pada abad ke- 18, dan puncaknya pada akhir abad ke- 19, mereka mendapat tempat yang baik di hati para ulama Betawi.  Bahkan ada yang mengatakan, kehadiran mereka ibarat siraman darah segar bagi perkembangan islam di tanah air.

Salah satu saksi bisu atas kehadiran para ulama habaib itu ialah Kampung Pekojan, tidak jauh dari China Town di Glodok, Jakarta Barat.  Sampai 1950-an, mayoritas warga Pekojan terdiir dari keturunan Arab.  Tapi belakangan, juga sampai saat ini, keturunan Arab di Pekojan menjadi minoritas, sebab sebagian besar hijrah ke kawasan selatan, seperti tanah Abang, Jati Petamburan, Jatinegara,dan kini Condet.

Jejak- jejak peninggalan Islam masih bisa kita temukan disana.  Lihatlah misalnya Masjid An-Nawir (1760) yang lebih dikenal dengan Masjid Pekojan.  Di belakang masjid terdapat makam pendirinya, Syarifah Fatmah.  Pada akhir abad ke-19, masjid tersebut diperluas oleh Sayyid Abdullah bin Husein al-Aydrus, tuan tanah yang namanya diabadikan sebagai nama jalan, yaitu Jalan Alaydrus, tempat ia dulu pernah bermukim.

Dimasjid inilah, Habib Usman bin Yahya, mufti Batavia, mengajar dan memberikan fatwa sebelum pindah ke Jati Petamburan.  Ia memang dilahirkan di Pekojan.  Ayahnya bernama Ghabib Abdullah bin Yahya.  Ia kemudian menjadi menantu seorang ulama Mesir yang juga bermukim di Pekojan, yaitu Syaikh Abdurrahman bin Ahmad al-Misri.  Ia diangkat sebagai mufti setelah selama belasan tahun belajar ilmu Agama di 22 negara.  Sebagai pengarang kitab yang produktif, karyanya lebih dari 100 kitab, tebal maupun tipis.
Beberapa kitabnya ada yang dikoleksi oleh Perpustakaan Nasional, Salemba, Jakarta Pusat.  Kitabnya  yang populer antara lain Sifat Duapuluh dan Asyhadul Anam.  Habib Ustman adalah guru Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (Habib Kwitang), ulama besar yang 80 tahun silam mendirikan majelis taklim di kediamannya, yang kemudian sangat terkenal.

Habib Usman bin Abdullah Bin Yahya lahir di Pekojan, Jakarta tepatnya pada tanggal 17 Rabiul Awal 1238 H (1822 M).  Ayahnya bernama Habib Abdullah bin Agil bin Umar Bin Yahya.  Sedangkan ibunya adalah asy-Syaikhah Aminah binti Abdurrahman al- Mishri.  Pada usia tiga tahun, ketika ayahnya kembali ke Mekkah, ia diasuh oleh kakeknya, Abdurrahman al-Misri, yang mengajarinya dasar-dasara ilmu agama, bahasa Arab dan ilmu falak.

Pada usia 18 tahun, setelah kakeknya meninggal, ia menunaikan ibadah haji dan berjumpa dengan ayah serta familinya.  Disana , selama tujuh tahun, ia belajar agama kepada ayahandanya dan kepada Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, seorang mufti Makkah.

Pada tahun 1848 M beliau kemudian meneruskan perjalannnya untuk menuntut ilmu.  Berangkatlah beliau ke Hadramaut.  Di sana beliau menuntut ilmu kepada Habib Abdullah bin Husain Bin Thahir, Habib Abdullah bin Umar bin Yahya , Habib Alwi bin Saggaf al Jufri, Habib Hasan bin Sholeh al – Bahar.

Selepas dari menuntut ilmu di Hadramaut, keinginannya untuk selalu menuntut ilmu seakan taka pernah pupus dan luntur.  Habib Usman kemudian meneruskan perjalanannya ke Mesir dan belajar di Kairo selama 8 bulan.  Dari Kairo lalu meneruskan perjalanan ke Tunisia dan berguru kepada asy – Syaikh Abdullah Basya.  Dilanjutkan ke Aljazair dan berguru kepada asy- Syaikh Abdurrahman al-Maghribi.  Ia juga melakukan perjalanan ke Istanbul, Persia, dan Syria.  Setelah itu kemudian kembali ke Hadramaut.  Dalam perjalanannya ke beberapa negara tersebut, beliau banyak mendapatkan berbagai macam ilmu, seperti Fikih, Tasawuf, Tarikh, ilmu Falak, dan lain- lain.

Pada tahuin 1862 H (1279 M), ia diangkat menjadimufti menggantikan Syeikh Abdul Ghani, mufti sebelumnya yanmg telah lanjut usia.  Pada tahun 1899-1914 diangkat sebagai Advisseur Honorer untuk urusan Arab di kantor Voor Inlansche Zaken.

Sebagai seorang ulama yang mumpuni, ia sangat produktif mengarang banyak buku.       Buku-buku yang ia karang sebagian tidaklah tebal, akan tetapi banyak menjawab pertanyaan- pertanyaan yang timbul dalam masyarakat muslim tentang syariat islam.  Sebagai ulama, ia kenal sangat kritis dalam menyikapi persoalan-persoalan yang berkembang ditengah masyarakat. 

Ketika ia menyatakan sikapnya yang tidak setuju, ia selalu melampiaskannya lewat buku.  Ia sangat produktif, karyanya puluhan.  Pandangannya yang sangat tegas -  keras dalam soal fikih mendorong Sayid Usman terlibat dalam berbagai polemik dengan sesama ulama, bahkan dengan pemerintah Hindia Belanda.

Polemiknya yang paling keras, antara lain dengan Syekh Ahmad Khatib dari Minangkabau, juga dengan beberapa ulama Betawi.  Salah satu hal yang ia polemikkan dengan Syekh Ahmad  Khatib ialah penentuan arah kiblat masjid di Palembang.  Ia mengutip kitab Tahrir al-Aqwadillah karya Syekh Arsyad  al-Banjari dari Banjarmasin sebagai jawaban atas penentuan arah kiblat.

Sebagian besar karya Sayid Usman berbahasa Melayu dan Arab, baik berupa selebaran maupun brosur, rata-rata sektar 20 halaman.  Umumnya berisi jawaban atas berbagai persoalan umat pada saat itu.  Pada 1873 ia menulis kitab Taudzubu al-Adillah ‘ala Syuruthi Syuhudi al-Ahillah.  Buku ini membahas, dan memberikan jalan keluar, mengenai perbedaan pendapat di kalangan masyarakat islam Jakarta waktu itu mengenai hari pertama bulan Ramadhan.

Pada 1881 ia menulis kitab Al-Qawaninu as-Syari’ah li ahli al Majalisi al-Hukmiyati wal ‘If iayati.  Buku berbahasa Arab ini mempersoalkan menipisnya pengetahuan agama, khususnya ilmu fikih, di kalangan para penghulu saat itu.  Buku itu laris, sehingga harus dicetak ulang dengan mesin litografi ukuran lecil milik Sayid Usman sendiri.  Dengan mesin cetak sederhana itulah ia menyebar luaskan pemikiran pemikiran agama.  Sikapnya yang tegas keras memancing polemik dengan beberapa ulama yang lain.

Dalam bukunya Risalah Dua Ilmu, beliau membagi ulama menjadi 2 macam, yaitu ulama dunia dan ulama akhirat.  Ulama dunia tidak ikhlas, materialistis, berambisi dengan kedudukan, sombong dan angkuh.  Sedangkan ulama akhirat adalah orang yang ikhlas, tawadhu, berjuang mengamalkan ilmunya tanpa pretensi apa – apa, hanya lillahi ta’ala dan ridha Allah semata – mata.

Ia menjadi guru yang alim dan telah berhasil mendidik banyak murid – murid di Batavia waktu itu.   Tak sedikit diantara mereka di kemudian hari menjadi ulama besar, seperti al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsy,Kwitang, Jakarta.

Selain keras dalam hal agama, Sayid Usman juga punya perhatian di bidang politik.  Tapi sikapnya cukup kontoversial, terutama sikapnya mengenai jihad dan perang sabil, khususnya mengenai huru-hara melawan Belanda di Cilegon, Banten.  Meski Sayid Usman punya alasan kuat dalam Hujjahnya, banyak ulama yang mencibirnya sebagai anteh penjajah.  Apalagi sikpanya yang sangat menentang prakti – praktik mistik, sebagaimana ia tulis dalam kitab Manhaj al- Istiqamah.

Seorang pengamat islam Indonesia, Karel Steenbrink menulis “Pembaharuan Sayid Usman  memang lebih terbatas dibanding pembaharuan yang dilakukan Syarekat Islam atau Muhammadiyah, sebab relevansi politik dan sosialnya sama sekali belum ada.  Meski terbatas pada pembaharuan bidang ibadah, interpretasi fikih untuk urusan – urusan kecil dan beberapa persoalan akidah, Sayid Usman adalah seorang pembaharu.”

Di mata Orientalis Belanda, Snouck Hourgronje, Sayid Usman adalah ulama pembaharu.  Bahkan ketika ia dihantam oleh para ulama gara-gara kedekatannya dengan kolonial Belanda, Snouck tetap memeblanya.  Tetapi hal itu justru meneguhkan sikap Sayid Usman untuk keluar dari gelanggang politik.

Dalam tulisannya di harian De Locomotif edisi 11 Juli 1890, Snouck menulis,”Beberapa waktu lalu kami telah minta perhatian terhadap buah karya baru Sayid Uthman bin Abdillah al-Alawi dari betawi yang tak kenal lelah, yaitu serangkaian pelajaran yang berguna yang ditujukannya buat orang – orang sebangsanya yang bermukim disini; dan untuk tujuan tersebut ditempelkannya di berbagai mesjid Betawi.  Pena dan mesin cetak litografi Syaid Usman telah menghasilkan karya yang besar.”

Dalam suratnya tertanggal 14 Maret 1890, Snouck menulis mengenai sikap Sayid Usman yang menentang keras keikutsertaan kaum muslimin dalam praktik – praktik maksiat.  Antara lain Snouck menulis, “....beberapa peraturan tentang agama dan akhlaq , yang pematuhannya dianjurkan oleh Sayyid Uthman kepada kaum muslimin, antara lain keikutsertaann  mereka dalam musik, minuman, dan tari – tarian...”

Sementara dalam surat tertanggal 26 Maret 1891, orientalis Belanda itu menulis mengenai sikap Sayid Usman tentang jihad yang menurutnya ditafsirkan secara salah: “Banyak orang ‘disesatkan’ oleh beberapa ajaran syariat tentang jihad, dan mereka menyangka bahwa seseorang dapat mempertanggung- jawabkan suatu tindakan di hadapan Allah jika orang tersebut sebagai muslim mengambil harta orang – orang kafir, Cina ataupun Belanda untuk dirinya sendirinya...”

Sayid Usman wafat pada 1331 H (1913 M), jenazahnya dimakamkan di TPU Karet, Jakarta.  Namun dikemudian hari, saat ada penggusuran makam pihak keluarga berusaha memindahkan tanah kuburnya ke Pondok Bambu.  Sekarang makamnya masih terpelihara dengan baik di sebelah selatan masjid Al-Abidin, Pondok Bambu, Jakarta Timur.

Ulul Fahmi El Qendaly, Bisri Musthofa, S.Pd., "Biografi 45 Habaib Nusantara, 2001, Jombang, Darul Hikmah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan sesuai topik pembahasan.