24 Desember 2016

BANASPATI PELINDUNG GUNUNG WELIRANG


Masyarakat yang tinggal di sekitar gunung Welirang punya legenda yang khas yakni soal hantu yang biasa mereka sebut wong abang.  Konon wong abang adalah banaspati yang membawa kematian bagi siapa saja yang ditemui.

Sore itu, Kamto masih saja dengan sabar menunggui jebakan yang dipasang untuk menangkap burung-burung yang menjadi incarannya.  Dari pagi hingga sore belum mendapatkan seekor burung pun membuat Kamto memilih tetap bertahan.  Suara burung pemikat yang ada didalam sangkar jebakannya sesekali berbunyi nyaring. 
Tak jarang mulut Kamto pun ikut menirukan bunyi burung-burung itu.  “Suara binatang yang sebelumnya berbunyi mendadak berhenti.  Hutan serasa sunyi.  Burung pemikat yang saya pasang pun berhenti berkicau,” ujar Kamto.  Tiba-tiba bulu kuduk Kamto seperti berdiri.  Kamto celingukan, instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak benar di hutan itu.
Tanpa banyak pikir, Kamto mengemasi barang-barangnya.  



Baru saja ia selesai mengumpulkan sangkarnya, sebuah kelebat merah menyala melintas tak jauh dari tempatnya.  Kelebat itu menimbulkan bunyi kretek-kretek sambil diikuti hembusan angin yang cukup kencang.  Kamto tertegun dan seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.  “Bayangan setinggi dua meter itu bentuknya seperti manusia raksasa, namun kelebatnya menyerupai bola api dan menimbulkan gosong apa saja yang dilewatinya.  Semula saya menganggap itu kemamang yang kata orang suka menghisap ubun-ubun manusia.  Namun, kalau kemamang kok besar sekali,” ujar Kamto.  “Saya sebenarnya sejak dulu sudah pernah mendengar cerita tentang wong abang yang berada di sekitar gunung Welirang, namun itu hanya saya anggap cerita legenda.  Karena itu saya tidak pernah takut bila memasuki hutan-hutan di sekitar gunung Welirang,” terang Kamto.


Lain lagi yang dialami Partono, bukan nama sebenarnya.  Lelaki yang pekerjaannya menebang kayu di hutan untuk dijual lagi ini mengaku hampir dibuat mati oleh kemunculan wong abang.  “Waktu itu saya dengan seorang teman tengah memasuki hutan lebih dalam lagi.  Ini kami lakukan karena pohon-pohon yang ada di dekat perkampungan sudah pada habis dan tinggal yang kecil-kecil.  Kami terus saja memasuki hutan sambil mencari-cari pohon yang layak kami tebang,” kata Partono.  Sampai akhirnya Partono dan temannya menemukan sebuah pohon besar yang tampaknya mudah untuk ditebang karena cabannya tidak terlalu banyak dan bentuknya lurus.  


Usai beristirahat sejenak sehabis berjalan cukup jauh, Partono dan temannya langsung mengayunkan kapaknya untuk memotong pohon itu secara bergantian.  Namun belum sampai pohon itu roboh, tiba-tiba telinga kedua lelaki ini mendengar bunyi kretek-kretek seperti bunyi daun atau ranting-ranting yang sedang terbakar.  Bunyi itu cukup keras, hingga membuat Partono dan temannya spontan menghentikan aksinya.  Mereka melihat ada sekumpulan ranting serta daun yang terbakar namun tidak ada orang yang membakar atau berdiri di dekatnya.


Melihat hal itu, Partono saling pandang dengan temannya.  Mereka bertanya apakah tadi diantara mereka ada yang membuang puntung rokok sembarangan.  Namun lagi-lagi kedua orang itu hanya bisa saling menggeleng.  Tak berapa lama muncul lagi bunyi kretek-kretek dan setelah dicari sumber api itu, keberadaanya tak jauh dari tempat pertama.  “Anehnya api itu tidak bisa membesar dan sepertinya hanya mengitari tempat kami,” imbuh Partono.  Partono dan temannya ketakutan dan berusaha meninggalkan tempat itu.  Di tengah usaha mereka melarikan diri, sebuah ranting pohon yang cukup besar tiba-tiba jatuh dan hampir saja menimpah kepala mereka.  Batang pohon itu seperti ada yang melemparkannya.  Dan ketika Partono menoleh ke belakang, dia melihat ada makhluk setinggi sekitar dua meter dengan seluruh tubuh warna merah menyala sedang memandangi mereka yang sedang berlari ketakutan.  “Makhluk itu seperti sengaja membiarkan kami pergi dan hanya menakut-nakuti  kami,” imbuh Partono.  Sejak itulah Partono dan temannya tidak berani lagi memasuki hutan itu untuk tujuan mencuri kayu. 


Leman, seorang warga Sumolwang, Puri, Mojokerto juga pernah mengalami hal yang sama.  Lelaki yang pekerjaanya mencari pohon-pohon untuk bakalan bonsai ini sudah sering keluar masuk hutan di sekitar gunung Welirang.  Waktu itu Leman hendak membawa pulang lima pohon Lamtana yang bunganya sangat indah dan aneka macam.  Pohon sebesar lengan orang dewasa itu ditumpuk jadi satu dan dipikulnya.  Namun, sampai beberapa lama berjalan, lelaki ini cuma berkutat di tempatnya.  “Saya kembali lagi dan kembali lagi ke tempat yang pertama hingga sampai enam kali,” ujar Leman.  Leman baru bisa keluar setelah dia meletakkan pohon yang dibawanya.  

Itu pun sebenarnya dia melakukan tidak sengaja karena merasa terlalu berat jika terus-terusan membawanya.  Pada saat meninggalkan lokasi itu, Leman merasa ada yang mengikuti dan bentuknya seperti bayang-bayang merah.  Karena takut, dia pun semakin mempercepat langkahnya.  Cerita wong abang bagi penduduk yang tinggal di sekitar gunung Welirang sudah mereka dengar sejak dulu.  Siapa atau makhluk sejenis apa sebenarnya wong abanga itu, tak ada penduduk yang tahu secara persis.  Mereka hanya bisa mengira-ira.  Ada yang bilang wong abang adalah sebangsa banaspati yang bila bertemu manusia akan mengakibatkan kematian.  Namun, ada juga yang bilang kalau wong abang itu adalah penguasa ghaib gunung Welirang. 


Gus Kandek, seorang spiritualis yang tinggal di desa Sumber Girang, kecamatan Puri, Mojokerto, menuturkan bahwa cerita wong abang atau manusia merah lebih mirip legenda.  “Namun, bila dikatakan legenda keberadaanya benar-benar ada.  Saksinya banyak sekali dan mereka banyak yang masih hidup hingga sekarang ini,” jelas lelaki yang sering lelaku di gunung Welirang ini.  Menurut Gus Kandek, wong abang adalah jelamaan dari manusia sejak zaman Majapahit yang telah muksa hingga mereka bisa hidup di dua alam.  Ketika Majapahit terjadi perang saudara, banyak dari para bangsawan yang memilih meninggalkan keraton dan tinggal di hutan-hutan dan gunung-gunung, salah satunya di gunung Welirang.  Mereka menyepi dan bersemedi, saking lamanya akhirnya sampai muksa.  “Saking lamanya mereka bersemedi hingga akhirnya membuat mereka muksa dan hidup di dua alam.  Bukti-bukti peninggalan mereka banyak sekali dipuncak gunung Welirang,” pungkas Gus Kandek.
SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan sesuai topik pembahasan.