18 Maret 2016

GANGGUAN ARWAH SEORANG TEMAN


Rumah megah itu semula membuatnya takjub.  Tapi begitu tahu kepala sang pemilik rumah pecah hingga isinya tampak keluar, bercampur darah segar yang terus mengucur membasahi tubuhnya, ia pun ketakutan.  Dan setelah sadar jika dirinya berada di atas makam, langsung saja kabur.
Hujan emas di negeri orang, masih lebih baik hujan batu di negeri sendiri.  Itu mungkin paribahasa yang pas dialamatkan pada Sugeng, warga asli Blitar, Jawa Timur yang sudah hampir lima tahun menjadi warga Padang Sumatra Barat. 
Sebab, meski sukses menjadi transmigran, namun ia tetap tak bisa melupakan daerah asalnya yang notabene tak bersahabat, karena hanya menjadinya buruh tani.  “Siapa sih orangnya yang tak pernah kangen dengan kampung halamannya? Meski saya disitu sengsara, namun tetap punya kesan menyenangkan bersama sahabat karib dan para tetangga.  Hingga membuat hati saya tak bisa melupakan kenangan itu.  Apalagi saya lahir, besar dan dapat jodoh disini.  Namun dalam kunjungan itu ada satu hal yang tak dapat saya lupakan yakni bertemu arwah teman saya, Ngadiono,” akunya.

Sugeng kemudian menceritakan pengalaman tersebut lebih lengkap.  Berangkat sendirian dengan bis lintas Sumatera, selama perjalanan Sugeng tak sabar ingin segera menginjakkan kakinya di tanah kelahiran.  Dan perjalanan yang memakan waktu kurang lebih lima hari itu, terasa sangat membosankan.  Saat sampai di kampung halamannya, Sugeng disambut guyuran hujan cukup lebat.  Padahal sore itu, ia ingin melihat keadaan tanah kelahirannya di Desa daerah Blitar, Jawa Timur.  Tak ayal udara dingin mengurungkan niatnya.  Tidak itu saja, beceknya jalanan memaksanya untuk tidak keluar rumah dan tetap rebahan di kamar.  Dengan sedikit kecewa, ia menyimpan dulu keinginan untuk mengelilingi jalanan desanya.

Baca Juga: 

Esoknya, tepat malam Jum’at Kliwon, Sugeng pun mewujudkan keinginan tersebut.  Sendirian, ia menyusuri jalan mengelilingi desanya.  Padahal saat itu, suasana desanya terasa mencekam.  Hal itu terkait dengan kematian tetangganya, Ngadiono.  Ia tewas akibat disambar kereta api jurusan Surabaya-Blitar, tak jauh dari Stasiun Kereta Api Talun Blitar.  Sepanjang jalan, Sugeng hanya ditemani angin yang bertiup semilir dan sesekali tercium bau wewangian yang menusuk hidung.  Sementara dari kegelapan, ia hanya mendengar suara aneka binatang malam yang datang dari kejauhan.  Dan suara burung malam yang paling jelas terdengar, yakni suara burung gagak yang sering dijadikan perlambang kematian bagi orang Jawa.

Secara jujur Sugeng mengakui, bila saat itu ia sebenarnya merasa ngeri juga.  Hanya saja, ia memaksakan diri dan tetap menyusuri jalanan desa yang becek dan berlumpur.  Apalagi saat itu, masih belum terlalu larut, sekitar pukul tujuh malam.  Hal ini yang membuat semangatnya terus menggelora, yakni keinginan bertemu dengan teman-teman bermainnya semasa kecil.  Tepat di perempatan jalan dekat kuburan umu, Sugeng menghentikan langkah kakinya sejenak.  Seraya membungkukkan badan, ia kemudian mengibaskan telapak tangan pada bagian celananya yang terlihat kotor oleh bercak lumpur.  Namun mendadak kesibukannya terhenti.  Pikirannya terusik oleh sekelebat bayangan yang tiba-tiba melintas di depannya.  Belum hilang kagetnya, tak lama di dekatnya sudah terlihat sosok tubuh yang sangat dikenalnya, yakni Ngadiono.


BERTEMU TEMAN LAMA
Tahu kalau itu sosok Ngadiono, Sugeng tambah bingung.  Sadar bila orang yang dihadapannya itu telah meninggal, maka dalam benaknya berkecamuk bermacam pertanyaan.  Namun sebelum pikirannya berkembang lebih jauh, sosok tetangganya itu langsung mengajaknya bicara.  Dan entah mengapa, Sugeng yang semula takut seketika menjadi normal lagi, seperti bertemu dengan warga lainnya.  Diawali dengan senyum, lelaki yang meninggal di usia sekitar 40 tahunan tersebut, lalu mengajak Sugeng mampir ke rumahnya.  Sugeng pun menerima ajakan tersebut.  Maklum, Ngadiono adalah sahabat kentalnya sejak kecil.  Jadi ia takut dikatakan sombong, jika menolak ajakannya.  “Entahlah, apa yang sebenarnya terjadi? saat itu saya seperti terhipnotis dan mengikuti saja ajakannya,” kenang Sugeng.

Aneh rumah sahabatnya yang berjarak sekitar 200 meter dari tempatnya bertemu, bisa dicapai hanya dalam waktu sekejap.  Padahal sebenarnya, untuk menuju rumah Ngadiono, harus melewati paling tidak sembilan rumah.  Tidak hanya itu saja, sepengetahuannya, rumah Ngadiono itu sederhana.  Namun saat itu yang telihat Sugeng, rumah Ngadiono sangat megah dengan taman yang asri di halaman depan.  “Saat itu saya merasa heran.  Sebab seingat saya, rumah Ngadiono agak jauh dari perempatan desa.  Selain itu, tidak megah dan sedikit gersang halaman rumahnya.  Tapi malam itu lain dari yang pernah saya lihat.  Karena saya hampir lima tahun meninggalkan desa ini, pikiran saya hanya menganggap semua bisa berubah.  Namun yang jelas, hati ini selalu diliputi tanda tanya,” ungkap Sugeng.

Baca Juga:

Belum tuntas Sugeng mengarahkan pandangannya pada seisi rumah Ngadiono, tiba-tiba keadaan sekelilingnya berubah gelap.  Seketika itu muncul Ngadiono dengan membawa sebuah oblik (lampu minyak kecil) ke ruang tamu, dan digantungkan ke dinding rumahnya.  Melihat keadaan rumah yang sunyi dan sepi, Sugeng lalu memberanikan diri bertanya tentang anggota keluarga Ngadiono yang lain.  Namun lelaki itu hanya membisu dan sesaat kemudian beranjak dari tempat duduknya menuju ke sebuah kamar.  Tapi tidak begitu lama, Ngadiono sudah mucul kembali.  Bersamaan dengan itu, tersebar aroma wangi ke seluruh ruangan.  “Saat ditanya, sosok itu selalu menghindar dan masuk ke dalam kamarnya.  Setelah itu keluar lagi.  Tapi anehnya kok tercium aroma wangi kayak minyak serimpi.  Hidung saya juga mencium bau amis darah,” aku Sugeng.  “Sejak itu, hati saya menjadi gusar dan sedikit takut.  Sebab saya mencium banyak keganjilan dari rumah yang saya masuki itu.  Setelah adanya bau wangi dan darah, saya juga mencium kembang kuburan,” lanjutnya.


DIATAS MAKAM
Dalam ketakutan tersebut, spontan Sugeng membaca ayat Al Qur’an.  Usai membacakan beberapa ayat, ia menceritakan dirinya justru kian dibuat tegang saat itu.  Sebab lelaki yang tadinya mucul secara misterius itu, tiba-tiba saja wajahnya berubah menyeramkan.  Kepalanya pecah dengan mengeluarkan banyak darah.  “Saat tahu wajah yang sebenarnya, saya langsung lemas.  Bagaimana tidak, kepalanya pecah hingga isinya tampak keluar bercampur darah segar yang terus mengucur membasahi tubuhnya.  Terus terang, melihat hal itu membuat jantung saya langsung berdetak kencang.  Pokoknya, semua pikiran berkecamuk jadi satu,” ujar lelaki berusia 41 tahun itu.

Sejurus kemudian lelaki yang dilihat Sugeng berambut gimbal itu, menghilang dengan diiringi suara teriakan menggema di udara.  Seiring dengan hilangnya Ngadiono, Sugeng tersadar kalau dirinya tengah berada di atas sebuah makam.  Tak lain, yakni makam almarhum Ngadiono.  “Karuan saja saya langsung kabur.  Sebab saat itu saya ternyata tidak sedang di dalam rumah, melainkan tengah berada tepat diatas sebuah makam yang tertera nama Ngadiono dengan jelas,” terangnya sambil mengingat peristiwa yang dialaminya 12 tahun silam tersebut.

Apa yang dialami bapak dari satu anak itu, selanjutnya diceritakan kepada anggota keluarganya yang lain.  Setelah mendengar penuturan Rima, kakak tertuanya, Sugeng baru mengerti kalau dirinya baru saja bertemu dengan arwah Ngadiono, teman karibnya sewaktu kecil.

SEKIAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan sesuai topik pembahasan.