Rumah megah itu
semula membuatnya takjub. Tapi begitu
tahu kepala sang pemilik rumah pecah hingga isinya tampak keluar, bercampur
darah segar yang terus mengucur membasahi tubuhnya, ia pun ketakutan. Dan setelah sadar jika dirinya berada di atas
makam, langsung saja kabur.
Hujan emas di
negeri orang, masih lebih baik hujan batu di negeri sendiri. Itu mungkin paribahasa yang pas dialamatkan
pada Sugeng, warga asli Blitar, Jawa Timur yang sudah hampir lima tahun menjadi
warga Padang Sumatra Barat.
Sebab, meski sukses menjadi transmigran, namun ia tetap tak bisa melupakan daerah asalnya yang notabene tak bersahabat, karena hanya menjadinya buruh tani. “Siapa sih orangnya yang tak pernah kangen dengan kampung halamannya? Meski saya disitu sengsara, namun tetap punya kesan menyenangkan bersama sahabat karib dan para tetangga. Hingga membuat hati saya tak bisa melupakan kenangan itu. Apalagi saya lahir, besar dan dapat jodoh disini. Namun dalam kunjungan itu ada satu hal yang tak dapat saya lupakan yakni bertemu arwah teman saya, Ngadiono,” akunya.
Sebab, meski sukses menjadi transmigran, namun ia tetap tak bisa melupakan daerah asalnya yang notabene tak bersahabat, karena hanya menjadinya buruh tani. “Siapa sih orangnya yang tak pernah kangen dengan kampung halamannya? Meski saya disitu sengsara, namun tetap punya kesan menyenangkan bersama sahabat karib dan para tetangga. Hingga membuat hati saya tak bisa melupakan kenangan itu. Apalagi saya lahir, besar dan dapat jodoh disini. Namun dalam kunjungan itu ada satu hal yang tak dapat saya lupakan yakni bertemu arwah teman saya, Ngadiono,” akunya.
Sugeng kemudian
menceritakan pengalaman tersebut lebih lengkap.
Berangkat sendirian dengan bis lintas Sumatera, selama perjalanan Sugeng
tak sabar ingin segera menginjakkan kakinya di tanah kelahiran. Dan perjalanan yang memakan waktu kurang
lebih lima hari itu, terasa sangat membosankan.
Saat sampai di kampung halamannya, Sugeng disambut guyuran hujan cukup
lebat. Padahal sore itu, ia ingin
melihat keadaan tanah kelahirannya di Desa daerah Blitar, Jawa Timur. Tak ayal udara dingin mengurungkan
niatnya. Tidak itu saja, beceknya
jalanan memaksanya untuk tidak keluar rumah dan tetap rebahan di kamar. Dengan sedikit kecewa, ia menyimpan dulu
keinginan untuk mengelilingi jalanan desanya.
Baca Juga:
Esoknya, tepat
malam Jum’at Kliwon, Sugeng pun mewujudkan keinginan tersebut. Sendirian, ia menyusuri jalan mengelilingi
desanya. Padahal saat itu, suasana
desanya terasa mencekam. Hal itu terkait
dengan kematian tetangganya, Ngadiono.
Ia tewas akibat disambar kereta api jurusan Surabaya-Blitar, tak jauh
dari Stasiun Kereta Api Talun Blitar.
Sepanjang jalan, Sugeng hanya ditemani angin yang bertiup semilir dan
sesekali tercium bau wewangian yang menusuk hidung. Sementara dari kegelapan, ia hanya mendengar
suara aneka binatang malam yang datang dari kejauhan. Dan suara burung malam yang paling jelas
terdengar, yakni suara burung gagak yang sering dijadikan perlambang kematian
bagi orang Jawa.
Secara jujur
Sugeng mengakui, bila saat itu ia sebenarnya merasa ngeri juga. Hanya saja, ia memaksakan diri dan tetap
menyusuri jalanan desa yang becek dan berlumpur. Apalagi saat itu, masih belum terlalu larut,
sekitar pukul tujuh malam. Hal ini yang
membuat semangatnya terus menggelora, yakni keinginan bertemu dengan
teman-teman bermainnya semasa kecil.
Tepat di perempatan jalan dekat kuburan umu, Sugeng menghentikan langkah
kakinya sejenak. Seraya membungkukkan
badan, ia kemudian mengibaskan telapak tangan pada bagian celananya yang
terlihat kotor oleh bercak lumpur. Namun
mendadak kesibukannya terhenti.
Pikirannya terusik oleh sekelebat bayangan yang tiba-tiba melintas di
depannya. Belum hilang kagetnya, tak
lama di dekatnya sudah terlihat sosok tubuh yang sangat dikenalnya, yakni
Ngadiono.
BERTEMU TEMAN
LAMA
Tahu kalau itu
sosok Ngadiono, Sugeng tambah bingung.
Sadar bila orang yang dihadapannya itu telah meninggal, maka dalam
benaknya berkecamuk bermacam pertanyaan.
Namun sebelum pikirannya berkembang lebih jauh, sosok tetangganya itu
langsung mengajaknya bicara. Dan entah
mengapa, Sugeng yang semula takut seketika menjadi normal lagi, seperti bertemu
dengan warga lainnya. Diawali dengan
senyum, lelaki yang meninggal di usia sekitar 40 tahunan tersebut, lalu
mengajak Sugeng mampir ke rumahnya.
Sugeng pun menerima ajakan tersebut.
Maklum, Ngadiono adalah sahabat kentalnya sejak kecil. Jadi ia takut dikatakan sombong, jika menolak
ajakannya. “Entahlah, apa yang
sebenarnya terjadi? saat itu saya seperti terhipnotis dan mengikuti saja
ajakannya,” kenang Sugeng.
Aneh rumah
sahabatnya yang berjarak sekitar 200 meter dari tempatnya bertemu, bisa dicapai
hanya dalam waktu sekejap. Padahal
sebenarnya, untuk menuju rumah Ngadiono, harus melewati paling tidak sembilan
rumah. Tidak hanya itu saja,
sepengetahuannya, rumah Ngadiono itu sederhana.
Namun saat itu yang telihat Sugeng, rumah Ngadiono sangat megah dengan
taman yang asri di halaman depan. “Saat
itu saya merasa heran. Sebab seingat
saya, rumah Ngadiono agak jauh dari perempatan desa. Selain itu, tidak megah dan sedikit gersang
halaman rumahnya. Tapi malam itu lain
dari yang pernah saya lihat. Karena saya
hampir lima tahun meninggalkan desa ini, pikiran saya hanya menganggap semua
bisa berubah. Namun yang jelas, hati ini
selalu diliputi tanda tanya,” ungkap Sugeng.
Baca Juga:
Belum tuntas
Sugeng mengarahkan pandangannya pada seisi rumah Ngadiono, tiba-tiba keadaan
sekelilingnya berubah gelap. Seketika
itu muncul Ngadiono dengan membawa sebuah oblik (lampu minyak kecil) ke ruang
tamu, dan digantungkan ke dinding rumahnya.
Melihat keadaan rumah yang sunyi dan sepi, Sugeng lalu memberanikan diri
bertanya tentang anggota keluarga Ngadiono yang lain. Namun lelaki itu hanya membisu dan sesaat
kemudian beranjak dari tempat duduknya menuju ke sebuah kamar. Tapi tidak begitu lama, Ngadiono sudah mucul
kembali. Bersamaan dengan itu, tersebar
aroma wangi ke seluruh ruangan. “Saat
ditanya, sosok itu selalu menghindar dan masuk ke dalam kamarnya. Setelah itu keluar lagi. Tapi anehnya kok tercium aroma wangi kayak
minyak serimpi. Hidung saya juga mencium
bau amis darah,” aku Sugeng. “Sejak itu,
hati saya menjadi gusar dan sedikit takut.
Sebab saya mencium banyak keganjilan dari rumah yang saya masuki
itu. Setelah adanya bau wangi dan darah,
saya juga mencium kembang kuburan,” lanjutnya.
DIATAS MAKAM
Dalam ketakutan
tersebut, spontan Sugeng membaca ayat Al Qur’an. Usai membacakan beberapa ayat, ia
menceritakan dirinya justru kian dibuat tegang saat itu. Sebab lelaki yang tadinya mucul secara
misterius itu, tiba-tiba saja wajahnya berubah menyeramkan. Kepalanya pecah dengan mengeluarkan banyak
darah. “Saat tahu wajah yang sebenarnya,
saya langsung lemas. Bagaimana tidak,
kepalanya pecah hingga isinya tampak keluar bercampur darah segar yang terus
mengucur membasahi tubuhnya. Terus
terang, melihat hal itu membuat jantung saya langsung berdetak kencang. Pokoknya, semua pikiran berkecamuk jadi
satu,” ujar lelaki berusia 41 tahun itu.
Sejurus kemudian
lelaki yang dilihat Sugeng berambut gimbal itu, menghilang dengan diiringi
suara teriakan menggema di udara.
Seiring dengan hilangnya Ngadiono, Sugeng tersadar kalau dirinya tengah
berada di atas sebuah makam. Tak lain,
yakni makam almarhum Ngadiono. “Karuan
saja saya langsung kabur. Sebab saat itu
saya ternyata tidak sedang di dalam rumah, melainkan tengah berada tepat diatas
sebuah makam yang tertera nama Ngadiono dengan jelas,” terangnya sambil
mengingat peristiwa yang dialaminya 12 tahun silam tersebut.
Apa yang dialami
bapak dari satu anak itu, selanjutnya diceritakan kepada anggota keluarganya
yang lain. Setelah mendengar penuturan
Rima, kakak tertuanya, Sugeng baru mengerti kalau dirinya baru saja bertemu
dengan arwah Ngadiono, teman karibnya sewaktu kecil.
SEKIAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan sesuai topik pembahasan.