Memang sih, kalau dipikir-pikir di zaman
ini hampir semua aktifitas menggunakan tehknologi Digital, tanpa musti membuka
kamus atau buku, semua data dan pengetahuan bisa diperoleh hanya dengan sekali
klik internet. Tetapi tidak semua
masalah atau kejadian sehari-hari yang kita alami, bisa dipecahkan dengan
logika. Adat istiadat, kepercayaan turun
temurun dari nenek moyang, mesti sulit diterima secara akal sehat, masih perlu
dihargai. Seperti kepercayaan sebagian
masyarakat, tentang perlunya sesaji.
Kejadian yang dialami sahabat saya Dewi, mestinya jadi
pembelajaran. Karena dimanapun kita
berada mesti “permisi” dan menghargai keberagaman adat disana.
Shopping lagi? gila tuh bocah, entah
sudah berapa banyak uang yang dia hamburkan buat belanja. Pesawat kami belum mendarat di bandara Ngurah
Rai saja, Dewi sudah wanti-wanti aku agar tidak lupa, mengatarkan dia ke
kawasan Legian dan Nusa Dua, buat belanja.
Mmmm… kirain hanya sekedar bualan saja.
Tahunya beneran. Belum sempat
tidur beneran, abis check in di hotel, cewek berambut cepak warna burgundy itu
sudah menarik-narik lenganku buat buruan jalan.
Liburan semesteran ini, memang excited banget. Boleh dibilang baru kali ini kami berdua yang
biasa dijuluki soulmate sama teman-teman satu angkatan, punya waktu berlibur
bersama.
Sejak SMA aku dan Dewi memang
sudah sangat dekat. Sampai-sampai
keluarga kami pun saling kenal. Aku
sering jalan bareng mamanya, menginap dirumah Dey atau sebaliknya. Meski kalau dipikir-pikir karakter kami
bertolak belakang. Cewek berkacamata
minus itu cenderung tomboy, slenge’an, easy going… super cuek dech. Sebaliknya aku pemalu, pendiam dan kata dia
jauh lebih perempuan. Ajaib ya, kami
berdua nyambung. Bahkan saling
melengkapi sampai sekian tahun kuliahpun tanpa sengaja mengambil fakultas yang
sama. Meski jurusannya berbeda. Lumayan…ada masalah apapun aku masih bisa
curhat dengannya. Beberapa mata kuliah
kami pun sama, hingga kadang ngebahas soal atau berburu diktat bisa dilakuin
bareng.
“Net…Gimana kalau jalan lagi ke
Sukawati….Katanya murah-murah di sana!” tanya Dey, mengejutkan ketika kami
masih menyusuri trotoar jalan, karena menunggu taksi yang belum lewat-lewat
juga. Astaga, masih mau mampir Pasar
Sukawati lagi? Apa dia gak ngeliat tampangku super kucel begini? Keringat membanjir
di kening, sementara dua tanganku sudah menenteng tas belanjaan hasil berburu
souvenir tadi. “Istirahat dulu…Balik ke
Hotel aja ya, panas banget nih. Bisa
tepar kalau kamu ngebut belanjanya gini…!”keluhku.
Cewek berwajah tirus itu bukannya
berhenti jalan, melihat aku mulai kepayahan, malah terus melenggang jauh
didepan. “Buruan jalannya….haa….ha…ha…
Depan sana ada tempat makan, kita isi bensin dulu ya. Pasti kamu kelaparan tu,” Katanya cuek. Mmmm…bener juga tuh, seingatku, perut ini
baru diisi setangkup roti dan segelas kopi.
Padahal jam di pergelangan tanganku sudah lewat dari jam makan
siang. Sebuah rumah makan sederhana,
tapi kelihatan bersih dan deretan foto menu yang disajikan, menggoda, akhirnya
kami temukan. Huhhh…aku menyeka keringat
yang membanjir. Udara memang begitu
panas, sampai-sampai kulit pun rasanya terbakar. Bayangin siang bolong begini menyusuri jalan
keluar masuk toko.
Kalau aku kelihatan
kusut masai seperti motor kuranf bensin, sebaliknya Dey, entah dia di charge
pakai baterai jenis apa, kok seperti nggak ada capeknya. Buktinya aku terkantuk-kantuk lemas di meja,
menunggu makanan datang, eh…tu cewek sudah ngiderin rumah makan yang memiliki
ornamen-ornamen bernilai seni tinggi.
Seperti patung-patung, sulaman kain bermotif etnik dan lukisan. “Dey…makan yuk…Lapar nih…!” Tegurku, ketika
melihat Dey baru saja menarik kursi di depanku, buat duduk. Ayam betutu, sate lilit, sambal matah,
wah…melihat penyajiannya saja, genderang di perut sudah bertalu-talu. “Ya bentar…kujadiin satu dulu, belanjaan kita
dalam satu tas, biar praktis, tadi kebanyakan plastik. Duluan saja gih…kayaknya enak banget ya.”
tanya dia. “Makannya buruan makan, ntar
keburu nasinya dingin.” Kataku. “Beres
neng…!” Katanya setengah meledek sambil memasukkan sebuah benda yang belum
pernah kulihat sebelumnya kedalam tas pinggangnya. Ah, cuek sajalah, mungkin belanjaan Dey tadi.
Demam, kasihan banget Dey habis makan
malam di hotel, tiba-tiba suhu tubuhnya tinggi, hingga kami mesti balik ke
kamar. Meski tadinya dia sempat ngotot,
tidak apa-apa dan pengen jalan lagi, tapi akhirnya Dey menyerah juga. Demamnya memang tidak bisa dianggap enteng,
karena begitu sampai dikamar dan naik ke atas tempat tidur, cewek yang pernah
menjadi kapten tim basket wanita di kampus itu langsung bersembunyi di balik
selimut.
“Dey, kucariin obat penurun panas dulu
ya ditoko lantai bawah…! kamu tidur saja,” Kataku sambil menyambar dompet di
meja, lantas buru-buru ke lantai bawah.
Astaga…!! balik ke kamar bukanya kulihat
Dey tidur tapi cewek itu malah merancau nggak jelas sambil menggigil seperti
orang kedinginan. Padahal leher dan
dahinya ketika kuraba, panas membara.
Obat penurun panas, buru-buru ku berikan buat dia minum. Please…Tuhan, sahabatku ini baik-baik
saja. Lagian kami hanya berdua
saja. Nyaris semalaman aku tidak
tidur. Bukannya kondisi Dey membaik,
bisa tidur nyenyak atau panasnya turun tapi sebaliknya Cewek jangkung yang suka
ngeGym itu, malah terus merancau mirip orang mengigau. Kadang berteriak ketakutan, lantas merintih
seperti meminta pertolongan.
Untung kondisi Dey berangsur membaik,
esok paginya. Malah dia jauh lebih baik
dariku yang semalaman tidak tidur gara-gara ngejagain dia. Kocaknya, cewek tangguh itu bahkan lupa
semalaman dia demam tinggi. Lihat saja, dia
sudah menarik-narik selimutku tanpa rasa bersalah sama sekali. “Bangun neng…ih, jam segini masih molor. Sarapan dulu yuk, sengaja kupesan di kamar
nih. Biar bisa cepet, langsung jalan…”
katanya, mengejutkan, busyet udah siap jalan lagi?
Bener-bener nih, Dey Energinya luar
biasa. Baru semalaman demam tinggi,
pagi-pagi sudah kuat jalan. Mungkin
karena terbiasa berolahraga dan petualangan di alam terbuka kali ya…berbeda
denganku, jarang keluar rumah. Apalagi
berlibur di alam terbuka. Makannya baru
jalan sebentar saja sudah kecapekan.
Tebakan sahabatku itu baik-baik saja, salah besar. Buktinya jelang sore suhu tubuhnya tinggi
lagi. Kami buru-buru balik ke kamar,
karena kulihat di jalan Dey mulai sempoyongan jalannya. Wajahnya pucat, tatapannya kosong, suaranya
menggeram, seperti orang marah. Duh, kok
nakutin banget sih?
Perasaanku mengatakan, sakit Dewi kali
ini tidak biasa. Jangan-jangan dia demam
berdarah, karena suhu naik turun. Tapi
kuperhatiin, tak ada tanda bintik merah di tubuhnya. Khawatir dengan kondisinya, terpaksa aku
menghubungi Rangga mantan tunanganku yang tinggal di Denpasar.
Terpaksa? Ya, buat menyebut namanya saja
aku malas. Cowok bermata tajam itu,
pernah mengisi hari-hariku dulu. Bahkan
kami sudah memiliki banyak rencana buat keluarga kecil kami berdua. Awalnya jadian juga berkat dicomblangin
Dey. “Net…Neta…” Tegur pemilik suara
berat itu. Ya ampun, entah sudah berapa
lama aku melamun. Kubaru sadar, rangga
masih duduk didepanku, sehabis memeriksa kondisi Day….
“Maaf, sorii…ya, gimana kabarnya Dey?
Dia butuh test darah atau apa?” tanyaku, panik.
Rangga menggeleng, dia menyodorkan secarik resep, lantas merapikan
perlengkapannya. “Sementara minum
obatnya dulu. Kalau sampai dua hari ini
tidak ada perubahan, telephone aku saja ya…”
Mata itu? Astaga. Kenapa aku masih berdebar begini, melihat
rangga. Husss! buru-buru aku
menghilangkan kenangan masa lalu kami.
Nggak boleh! sekarang, fokus ke sakitnya Dey. Kuantarkan Rangga sampai ke lobi bawah,
sekalian aku keluar buat menebus resep.
Karena kulihat, Dey sudah tertidur pulas setelah disuntik tadi. Dugaanku Dey membaik, keliru. Tengah malam, masih saja dia merancau dan
berteriak, seperti orang ketakutan.
Mungkin karena panasnya masih tinggi.
Biarlah, besok kulihat lagi kondisinya.
Mungkin efek obat yang diberikan, belum sepenuhnya bekerja.
Liburan menyiksa….
Mungkin itu topik liburanku kali ini
bersama Dey. Rencana bersenang-senang
malah sebaliknya yang kami dapat. Karena
tiga hari sudah, kondisi Dey tidak membaik. Anehnya ceracauan dan demamnya
hanya muncul tiap malam, pagi hari dia akan segar bugar seperti tidak pernah
terjadi apa-apa. Rangga yang datang
untuk keduakalinya pun memastikan, tidak ada penyakit serius setelah membaca
hasil test darah. Terpaksa, kami balik ke Jakarta seperti rencana semula. Soalnya biaya hotel bisa membengkak, tiket
pesawat pun sudah dibeli buat pulang pergi.
Heran, Bukannya di Jakarta membaik, tapi sama saja. Sampai-sampai aku mesti menginap di rumah Dey
bua menemaninya. Karena tinggal sang
mama yang tinggal dirumahnya. Minggu
ini, minggu yang berat buat kami berdua.
Entah apa yang membuat Dey seperti itu.
Bahkan dokter di Jakarta pun menyimpulkan hal yang sama. Cewek ini tidak sakit apa-apa. Lantas?
Pertanyaanku terjawab ketika Rey teman
satu genk kami di kampus dulu main ke rumah.
Cowok itu memang memiliki “kemampuan” membaca sesuatu di luar akal sehat
kami yang sangat mengagungkan logika.
Ya sejak di kampus dulu, Rey suka kami
anggap aneh. Padahal sering juga tuh,
apa yang dia omongin bener. Seperti
ketika dia mengatakan sebaiknya kami tidak melintas di kawasan Casablanca malam
itu. Bener saja, tepat di malam yang dia
sebut terjadi kecelakaan beruntun. Nggak
hanya itu saja, dia juga sempat melarang kami mendirikan stand di dekat
lapangan bola, belakang kampus waktu ada bazar.
Mahasiswa jurusan lain yang mendirikan stand disitu, merugi, pasalnya
sebuah papan reklame yang tumbang tepat menimpa stand mereka waktu hujan angin.
Komentar Rey soal sakit Dey, mengejutkan. Secara medis, cewek itu memang tidak sakit,
gara-gara mengganggu sesaji, dia jadi kena akibatnya. Belakangan Dey mengakui waktu kami makan di
sebuah rumah makan, dia sempat mengambil isian dari sebuah tempat sesaji atau
canangsari, yang sebenarnya dipercaya diperuntukkan bagi Buta Kala, agar tidak
mengganggu. Isinya bisa berupa rokok,
permen, kue-kue. Mmm…sejak saat itu kami
lebih berhati-hati. Beda tempat, beda
ada dan kepercayaan, tetapi mesti dihargai dan tidak dibuat mainan.
SEKIAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan sesuai topik pembahasan.