Bang Madun, sebutlah begitu, memang
bukan selebritis atau artis. Tetapi
namanya cukup melekat di hati para penggemar Soto Betawi. Soto buatan Bang Madun rasanya sangat
spesial. Sekali saja mencobanya, pasti
bakal ketagihan. Tak heran kalau langganan
Bang Madun bejubel tiap sore hingga warungnya tutup. Mobil pun parkir berderet-deret di depan
warung makannya yang sederhana. Belum
jam sembilan mentok, sotonya sudah ludes terjual, padahal ia baru buka setelah
maghrib.
Kalau dihitung-hitung di seluruh antero
Jakarta, mungkin Soto Betawinya Bang Madun yang paling tersohor. Tapi itu dulu, sekarang tinggal
kenangan. Sejak pindah lokasi tiga bulan
silam karena kontrak warung yang dulu habis, usaha Bang Madun nyaris
bangkrut. Warung sotonya benar-benar
sepi.
Tiap malam yang mampir hanya beberapa orang saja. Itupun terbilang pembeli yang masih baru. Langganan lama Bang Madun, yang sering menjulukinya Jagoan Soto tidak pernah nongol batang hidungnya sejak dia pindah.
Tiap malam yang mampir hanya beberapa orang saja. Itupun terbilang pembeli yang masih baru. Langganan lama Bang Madun, yang sering menjulukinya Jagoan Soto tidak pernah nongol batang hidungnya sejak dia pindah.
Bang Madun tidak pernah habis pikir
mengapa langganannya yang kalau dihitung bisa ratusan orang itu semuanya
menghilang. Padahal sebelum pindah, dia
sudah berpromosi dulu kepada langganan bahwa warungnya bakal pindah. Namanya langganan yang sudah keranjingan
sotonya mestinya mereka tetap jadi pembeli setia, apalagi warung baru Bang
Madun letaknya tidak terlalu jauh dari tempatnya yang lama. Tapi kenyataanya, para langganan itu semuanya
menghilang.
Bang Madun yang dulu jaya mulai dihantui
kebangkrutan. Sampai suatu ketika dia
mulai menemukan penyebab semuanya itu.
Awalnya sederhana saja. Hari itu,
sekitar pukul 07.00 malam dia menelepon ke rumahnya di Pondok Cabe. Rencananya dia segera menutup warungnya
karena malam benar-benar sepi akibat sorenya hujan turun sangat lebat. Dia meminta
Irwan, putra sulungnya segera menjemput dengan Corolla tuanya. Malam itu Bang Madun memang merasa agak
meriang.
Setelah menutup telepon, Irwan mengaku
segera jalan menjemput ayahnya. Namun,
sampai pukul 09.00 malam Bang Madun menunggu, nyatanya Irwan tak muncul. Bang Madun kesal, dia pulang naik taksi
setelah menyuruh karyawannya menutup warung.
Begitu sampai di rumah dia berniat mendamprat Irwan. Dan memang Irwan sedang asyik nonton tv.
“Kamu ini tega membiarkan ayah
kedinginan. Dua jam ayah menunggu kamu?”
Geram Bang Madun.
Irwan berusaha menenangkan diri. “Demi Allah, saya jemput ayah, tapi saya
lihat warung ayah sudah tutup, sepi sekali.” Ujarnya.
“Tutup apaan. Anak-anak tadi baru tutup jam sembilan,”
sergah Bang Madun mengatakan yang sebenarnya.
Irwan terus bersumpah bahwa dia tiadi
menjemput ayahnya, namun karena warung tutup maka dia balik pulang. Bang Madun yang semula kesal berubah
heran. Dia tahu anak-anaknya tak mungkin
berani membohonginya, sebab semuanya patuh dan rajin beribadah. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi?
Ketika keheranan memuncak, Hindun, putri
kedua Bang Madun yang kuliah di Asyafi’iyah muncul. Dia turut membenarkan ucapan abangnya. “Tadi sekitar setengah tujuh sya lewat warung
ayah memang sudah tutup,” kata mahasiswi yang kuliah sore itu.
Astaga, apa yang terjadi? Bang Madun
menangkap ketidakberesan. Mungkin itu
juga dilihat oleh para langganannya.
Warung sotonya tampak selalu tutup, padahal kenyataanya buka. Pantas, mereka tak satupun ada yang mampir.
Kisah model Bang Madun pada ilustrasi
tadi cukup banyak berlangsung dalam realitas sebenarnya. Ini memang model kejahatan guna-guna paling
sering digunakan dalam menjatuhkan usaha perdagangan orang lain yang tengah
maju pesat. Efek guna-guna ini dapat
menimbulkan kesan nihil pada pandangan orang yang berniat akan membeli atau
langganan tidak melihat keberadaan tempat jual beli tersebut. Atau kalaupun mereka melihat di tempat itu
tidak ada warung. Yang ada hanya
semacam keramaian kecil, atau bahkan keadaan yang sunyi senyap.
Mereka yang melakukan guna-guna semacam
ini biasanya dengan meminta pertolongan kepada seorang dukun perewangan. Sang dukun umumnya memberika media tertentu
kepada si pemesan guna-guna. Media
tersebut paling umum berupa debu atau tanah kuburan yang harus ditaburkan di
depan warung atau toko tempat berdagang orang yang akan dijahatinya.
Debu atau tanah kuburan yang telah
diberi mantera tersebut nantinya merupakan alat untuk membuat para jin agar
betah tinggal di tempat itu. Mereka para
jin setiap saat siap menjalankan perintah majikannya. Salah satu tugasnya adalah mengelabuhi pandangan
pembeli, sehingga yang terjadi seperti nasib yang menimpa Bang Madun pada kisah
diatas.
Untuk membangkrutkan usaha dagang
seseorang juga kerap digunakan kain kafan mayat orang yang mati bunuh
diri. Terutama guna-guna ini sering
menimpa warung-warung makanan. Caranya
dengan menanam potongan kafan tersebut persis di depan toko atau warung.
Dengan ritual semacam ini, makanan yang
dijual oleh warung tersebut akan cepat basi.
Bahkan, kalaupun toko menjual makanan yang enak, maka oleh pembeli
rasanya akan berbeda sama sekali. Karena
itu pembeli kapok. Akibatnya,
perlahan-lahan toko itu akan bangkrut dengan sendirinya.
Disamping dengan cara ditanam, kain
kafan juga terkadang bisa dibakar dan dicampur lemak babi. Lalu tepung ramuan tersebut harus disebarkan
di depan tempat berjualan yang jadi sasaran.
Pada umumnya, guna-guna dalam perdagangan
jarang yang secara langsung mencelakakan pemiliknya. Model kerjanya sangat pelan, namun dengan
pasti menggiring ke arah pembangkrutan.
Tak heran jika banyak orang yang membuka toko atau tempat usaha selalu
menaruh zimat atau ayat-ayat suci di beberapa sudut tokonya. Cara antisipatif ini bisa jitu, tapi bisa
juga tak memberi manfaat apa-apa.
Guna-guna dangang paling sering menimpa
mereka yang berjualan makanan seperti restoran atau rumah makan, toko roti dan
makanan kering atau bisnis-bisnis waralaba lainya.
Ada suatu pengalaman menarik ketika itu
salah seorang wartawan sebuah tabloid misteri berkesempatan mengajak seorang
tokoh kebatinan tingkat tinggi, bahkan dia mengaku pernah “dipakai” oleh
keluarga mantan Presiden Soeharto ke salah satu restoran yang cukup terkenal di
Jakarta. Pada saat memasuki restoran
itu, mendadak dia mengajak putar badan, batal makan walau perut sudah
keroncongan. Apa yang terjadi?
“Jangan sekali-kali makan di tempat ini,
aku akan memperlihatkannya kepadamu,” kata sang tokoh sebelum kami keluar
meninggalkan ruang makan restoran.
Setelah itu dia memberikan sorban hijau
yang selalu setia bertengger di pundaknya kepada kami. Astaga! dengan jelas kami melihat keanehan di
tempat itu. Di antara ramainya pelayan
dan pembeli, tampak jelas makhluk-makhluk asing dengan tampang mengerikan. Tanpa terlihat oleh siapapun, makhluk-makhluk
menjijikkan ini menaburkan sesuatu mirip debu, atau meludahi makanan yang siap
dihidangkan untuk para tamu.
“itu yang membuat pelanggan keranjingan
makan di sini,” kata sang tokoh lagi menyentakkan kami dari keterpukauan. Bisa jadi ini juga model lain dari guna-guna
berdagang yang sasarannya ditujukan langsung kepada pembeli agar mereka enggan
berlangganan ke tempat lain.
Ketika persaingan dagang kian meruncing
dan jurus-jurus pemasaran secara umum tak bisa lagi digunakan, maka pilihan si
pedagang biasanya memang akan menempuh jalan gaib. Solusi ini sesungguhnya sudah menjadi rahasia
umum di kalangan pedangang, terutama yang bermain di sektor ritel atau eceran.
Untuk membuktikan kecenderungan tersebut
memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi, bagi mereka yang memiliki ketajaman
indra ke enam biasanya akan lebih mudah membuktikannya. Coba saja masuk ke kawasan Pasar Tanah Abang,
atau ke pasar tradisional seperti Jatinegara.
Dengan ketajaman indra batin, di kedua pasar tersebut akan terlihat
dengan jelas bukan hanya komunitas manusia yang berada di dalamnya. Di sana juga akan ditemukan makhluk-makhluk
aneh yang menyeramkan. Misalkan saj, ada
manusia berkepala anjing, kera atau babi.
Bahkan ada juga sosok-sosok gaib yang menakutkan lainya. Hal tersebut merupakan gambaran dari
kehadiran berbagai jenis guna-guna yang dilakukan oleh para pedagang disana,
guna memenangkan persaingan.
Menggunakan solusi gaib untuk
melancarkan usaha, baik dagang ataupun bentuk usaha lainnya. Sesungguhnya merupakan tindakan yang sangat
sah. Dengan catatan cara ini tidak
ditempuh dengan jalan sesat, seperti memuja pesugihan atau bentuk perewangan
lainnya.
Banyak cara untuk melancarkan usaha
dagang. Misalkan saja dengan melakukan
ritual-ritual islami, seperti yang dipratikkan oleh para Ulama’ Sufi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan sesuai topik pembahasan.