Karean sudah lama menjanda lantaran
ditinggal mati oleh suaminya, Jainem mau tak mau harus banting tulang untuk
menghidupi dirinya sendiri. Karena
memang anak satu-satunya bekerja di Jakarta.
Praktis, ia hanya hidup sebatang kara.
Untuk minta bantuan kepada putranya, dirinya merasa sungkan. Apalagi, putranya sudah berkeluarga dan
mempunyai dua orang putra yang sudah sekolah.
Karena itulah, ia berusaha menghidupi dirinya sendiri dengan cara
berjualan nasi pecel di jalan Urip Sumoharjo, Madiun. Walau seorang wanita, Jainem yang lebih akrab
dipanggil Bu Pur ini, tak pernah berjualan di siang hari. Waktu siang ia gunakan untuk memasak. Sedangkan malam hari ia gunakan untuk
berjualan. Karena memang pelanggannya
banyak pada malam hari.
Pada hari-hari biasa, buka pukul 06.00
sore serta tutup pukul 10 malam.
Biasanya Jainem sudah menghabiskan beras lebih kurang lima
kilogram. Kecuali jika malam hujan. Paling-paling ia hanya menghabiskan beras
sebanyak tak lebih dari empat kilogram.
Tapi tidak demikian halnya pada 13 September 2003 yang lalu. Walau malam minggu, sejak buka, hingga pukul
08.00 malam orang yang datang untuk membeli nasi pecel khas Madiun kepadanya
tak lebih dari 5 orang. Itupun makan di
tempat. Padahal biasanya para pelanggannya
yang banyak membeli secara dibungkus.
Malam minggu seperti itu, biasanya tak lebih dari jam 09.00 malam ia
sudah tutup karena dagangannya sudah habis. Karena itulah, dalam hati ia
mengeluh. Apalagi, Jainem sudah telanjur
memasak nasi sebanyak 5 Kg beras. Namun
ia masih bersabar. Karena itu, ia masih
bertahan di warungnya yang hanya tertutup kain terpal.
Sekitar pukul 09.30 malam, tiba-tiba ada
seseorang yang mendatangi warungnya.
Anehnya, walau bukan pelanggannya, tapi orang ini minta dibungkuskan
nasi sebanyak 20 bungkus dengan harga perbungkus Rp 6.000. Padahal biasanya, orang yang beli dengan cara
dibungkus adalah pelangganya dan semua dikenal.
20 Bungkus selesai dibuat, orang yang tak dikenalnya memberikan lembaran
uang pas Rp 120.000 pada Jainem. Setelah
memberikan uang tersebut, orang itu kemudian pergi berjalan kaki menuju jalan
Hayam Wuruk atau Gorang-Gareng, Magetan.
Sepeninggal pembeli tadi, Jainem baru
bisa mengumbar senyum. Pikirnya saat
itu, inilah awal kelarisannya. Anehnya,
sepeninggal orang tadi, tak satupun pembeli yang datang. Bahkan hingga pukul 10.00 malam, karena nasi
yang telah dimasaknya terlanjur banyak, ia masih tetap setia menunggu
dagangannya. Sekitar pukul 10.15 malam,
dari arah selatan datang lagi seorang pembeli dengan berjalan kaki. Tapi setelah diamati, ternyata pembeli
iniadalah pembeli yang tadi telah memborong nasi bungkus sebanyak 20
bungkus. Cuma pakaiannya saja yang
ganti. Kepada Jainem, orang berpostur
tubuh tinggi besar ini memesan nasi sebanyak 20 bungkus, seperti kali pertama
membeli. Karena itulah, secara iseng
Jainem bertanya kepada orang tadi. “Wau
sampun mundut 20 bungkus, sak menika mudut malih 20 bungkus? kagem sinten to
pak kok kathah sanget. (artinya : Tadi
sudah beli 20 bungkus, sekarang beli lagi 20 bungkus? untuk siapa to pak, kok
banyak betul?) “ tanya Jainem saat itu kepada pembeli asing ini.
Ditanya seperti itu, orang yang memesan
nasi ini menjawab jika untuk anak-anak.
Tapi tak jelas siapa yang dimaksud dengan anak-anak ini. Saat itu, orang biasa dipanggil bu Pur ini
hanya mengira jika pembeli tadi adalah seorang mandor kerja yang membelikan
nasi untuk para pekerjanya yang sedang lembur.
Karena hal ini sudah biasa pada para pelanggannya. Seperti halnya ketika membeli pertama,
setelah menyerahkan uang pas Rp 120.000, orang ini langsung berlalu dari warung
Jainem dan kembali berjalan kaki menuju Jalan Hayam Wuruk. Jainem pun kembali tersenyum setalah orang
tadi berlalu dari hadapannya. Pikirnya saat
itu, dirinya tak jadi bangkrut karena dagangannya tak laku. Anehnya lagi, sepeninggal orang misterius
ini, lagi-lagi warungnya tak ada yang mengunjungi. Ia masih bertahan menjaga warungnya. Apalagi nasi yang telah dimasaknya belum
berkurang dari separo.
Walau sebenarnya, dengan lima orang
pembeli pertama serta 40 bugkus pesanan orang misterius ini ia sudah
mendapatkan modalnya kembali. Namun
sifatnya seorang pedangan adalah mencari untung. Bukan hanya kembali modal apalagi merugi. Oleh sebab itu, walau pukul telah menunjukkan
hampir jam 11.00 malam, ia masih bertahan menjaga warung sederhananya. Pikirnya saat itu, siapa tahu orang yang baru
pulang dari begadang di Alun-alun akan singgah ke warungnya. Tapi harapannya untuk menjaring pembeli yang
baru pulang melepas malam Minggu di Alun-alun kota Madiun, pupus. Terbukti, setiap pejalan kaki maupun para
pengendara sepeda motor hanya lalu lalang saja di depan warungnya. Demi dagangannya, ia masih terus bertahan
hingga pukul 11.30 malam. Karena barang
yang telah masak, tak mungkin ia jual esok harinya. Saat dirinya menunggu pembeli inilah
tiba-tiba datang seseorang ke warungnya dan memesan sebanyak 20 bungkus. Setelah diamatinya, ternyata orang ini adalah
pembeli yang telah 2 kali memesan nasi bungkus kepadanya dalam jumlah yang sama. Seperti halnya pada kali kedua ketika
membeli, orang ini juga telah berganti pakaian.
Lantaran penasaran, kemudian Jainem bertanya kepada pembeli tadi untuk
apa beli nasi lagi sebanyak 20 bungkus.
Lagi-lagi oleh orang tadi dijawab jika nasi itu untuk anak-anaknya. Setelah bungkusan nasi diserahkan, orang
misterius ini menyerahkan uang sebanyak tiga lembar yang terdiri dari pecahan
sepuluh ribu. Dengan begitu, 60 bungkus
orang tadi membeli nasi kepada Jainem.
Begitu juga dengan uang yang diterimanya, tinggal mengkalkulasikan
saja. Yakni sebanyak Rp 360.000. Sekitar pukul 12.00 malam walau barang
dagangannya masih banyak, Jainem menutup warungnya. Selain alasan sudah mendapatkan untung,
matanya sudah tak mau lagi diajak berkompromi karena siangnya telah lelah
memasak. Tapi sebelum mengemasi
barang-barangnya, ia terlebih dahulu membuka laci tempat uang pada meja dimana
ia menaruh dagangannya. Begitu membuka
laci meja, alangkah terkejutnya Jainem.
Karena uang yang telah ia terima dari orang misterius tadi sebanyak Rp
3.600.000. Tapi yang sebanyak Rp 30.000
dari pembeli orang pertama yang membeli, masih tetap utuh alias tak berubah
sama sekali. Tentu saja atas kejadian
ini, penuh tanda tanya pada diri Jainem.
Namun begitu, walau dibayangi sedikit
rasa takut, tapi dalam benak janda ini ada rasa bahagia yang tak
terhingga. “Bayangkan pak, uang yang
semula Rp 360.000 berubah menjadi Rp 3.600.000.
Padahal barang dagangan saya masih banyak, “ tutur Jainem kepada tetangga
yang membantu diwarungnya, “Tapi sebenarnya saya takut juga,” imbuhnya.
Kejadian aneh saat itu, ia pendam
sendiri. Setelah menyimpan rasa
keheranannya serta mengemasi barang-barang dagangan yang ada diatas meja, ia
bermaksud mengambil paha ayam panggang yang disimpannya di bawah meja, dengan
maksud ingin memakan di tempat jualannya.
Namun alangkah terkejutnya Jainem begitu mendapati paha ayam panggang
yang diberi tetangganya yang punya hajat selamatan, tak ada lagi pada
tempatnya. Padahal Jainem tak pernah
meninggalkan tempat berjualan. Karena
itu, ia yakin jika paha ayamnya dicuri orang tak mungkin. Sampai disini, berarti sudah ada kejadian
ganjil yang mengiringi selama berjualan di amam Minggu itu. Karena itu, ia segera memanggil tukang becak
yang mangkal didekat jembatan Mangunharjo untuk mengantarkan pulang.
Sesampainya di rumah, ia masih
memikirkan akan dua kejadia ganjil yang sangat langka dan baru kali pertama di
alaminya ini. Tak hanya itu, ia kemudian
melihat kembali uang dari hasil jualannya yang telah berubah masih tetap berjumlah
Rp 3.600.000. Begitu juga ketika
diamati. Uang tersebut ternyata asli
tanpa cacat sedikitpun. Malam itu, ia
nyaris tak bisa tidur karena dua hal tersebut.
Apalagi ia hanya seorang diri dirumah.
Karena merasa penasaran atas kejadian malam itu, paginya Jainem sengaja
tak belanja untuk jualan malam harinya.
Tapi, pagi itu ia sengaja mencari seorang Kyai di Takeran, Magetan untuk
menanyakan perihal dua kejadian ganjil yang dialami. Dari sang Kyai inilah, akhirnya mendapat
jawaban. Sebagaimana penglihatan batin
yang dilakukan Kyai tersebut dan dituturkannya kepada Jainem, bahwa yang
melipat gandakan uang jainem adalah sosok Genderuwo yang menyamar sebagai
pembeli serta memesan puluhan bungkus nasi tersebut. Tapi menurut Kyai, makhluk halus yang menemui
Jainem itu termasuk yang baik hati.
Karena, walau telah lama mengincar paha ayam panggang, tapi tidak
mencurinya secara gratis.
Setelah mendapatkan jawaban dari sang
Kyai, Jainem bertanya apakah uang itu dapat digunakan untuk
dibelanjakannya. Jawaban yang diterima
membuatnya girang, “bisa.” Alasan yang
dikemukakan Kyai itu karena uang tersebut memang hak Jainem sebagai ganti satu
paha ayam panggang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan sesuai topik pembahasan.