Konon, gua ini terbentuk dari kutukan Si Pahit Lidah. Lantas siapa sesungguhnya Si Pahit Lidah ini? Apakah hanya legenda atau nyata?
Sejak bumi dihuni oleh manusia, goa memiliki peranan penting. Manusia purba menjadikannya sebagai tempat tinggal. Mereka memanfaatkan goa untuk tempat berlindung dari cuaca ataupun binatang buas. Kita juga tentu ingat, banyak sejarah kehidupan manusia tempo dulu di kaji dari goa-goa. Misalkan saja, relief pada dinding goa sering dijadikan sebagai bahan kajian. Di mata para arkeolog, kesan mistis dan seram sepertinya telah sirna. Namun, tidaklah demikian bagi kalangan masyarakat yang mempercayai dunia supranatural. Dimata mereka, goa-goa menyimpan kegaiban tertentu. Hal ini baik menyangkut legenda maupun dimensi mistis yang ada di dalamnya.
Setidaknya, hal itu juga yang berlaku untuk Goa Putri, yang terletak di Desa Padang Bindu, kecamatan Pangandon, sekitar 35 km dari kota Baturaja, Sumatera Selatan. Goa Putri posisinya sekitar 1 km dari sungai Ogan. Disini ada sebuah batu yang seolah tumbuh di tengah sungai. Konon menurut cerita yang berkembang di masyarakat sekitar, batu ini merupakan jelmaan Putri Balian, yang dikutuk menjadi batu oleh seorang sakti mandraguna di zaman itu yang bernama Si Pahit Lidah.
Tidak bisa dipastikan kapan Goa Putri ini ditemukan. Namun, menurut cerita yang berkembang di sana, goa ini sudah ada sejak zaman dahulu kala. Dalam bahasa setempat goa ini juga disebut Susumen Dusun. Susumen berarti goa itu begitu besar maka masyarakat desa setempat menyebutnya sebagai Goa Desa.
Menurut legenda yang dipercayai sampai sekarang, dulu ditempat ini tinggalah seorang Putri Balian bersama keluarganya. Suatu saat, sang putri mandi di muara sungai Sumuhun, sungai yang mengalir di dalam goa dan bermuara di sungai Ogan. Sang putri mandi persis di sungai Semuhun pada pertemuan sungai ini dengan sungai Ogan. Ketika itulah lewat Serunting Sakti atau yang lebih dikenal dengan nama Si Pahit Lidah. Melihat sang putri di sungai hendak mandi, Si Pahit Lidah mencoba menegur. Namun tidak dipedulikan sama sekali. Sampai beberapa kali Si Pahit Lidah menegur putri Balian tetap saja tidak menghiraukannya.
"Sombong benar putri ini, diam seperti batu saja!" kata Si Pahit Lidah, kesal. Gumaman ini langsung mengenai putri Balian, sehingga seketika itu dia berubah menjadi batu. Batu inilah yang terdapat di sungai Ogan. "Dulu batunya putih licin, namun sekarang sudah ditumbuhi rerumputan," cerita pak Syafrizal, warga setempat.
Syahdan, setelah kutuknya mengenai putri Balian, Si Pahit Lidah meneruskan perjalanannya. Tak disangka sampailah ia di depan lokasi yang sekarang menjadi goa. Dia pun bergumam, "Katanya ini desa, tapi tidak kelihatan orangnya, seperti goa batu saja." Maka seketika itu jadilah tempat itu sebagai goa batu.
Kisah tentang goa Putri ini memang penuh misteri, entah kapan bisa terungkap. Yang menarik, menurut kajian seorang arkeolog dari Bandung, goa Putri dan kawasan sekitarnya adalah bekas lautan sejak 350 tahun sebelum masehi. Sementara itu tentang kisah Si Pahit Lidah, konon dia sebenarnya hanya pembantu seorang Kyai sakti. Setelah sekian lama bekerja pada Kyai itu, dia lalu berkeinginan minta ilmu kepadanya. Konon sang Kyai mentransfer ilmunya dengan cara membuka mulut Si Pahit Lidah. Pada saat itu Kyai meludah ke dalamnya. Konon karena itulah dia disebut Si Pahit Lidah.
Syahdan, Si Pahit Lidah mempunyai teman yang sakti, seorang nenek bermata empat atau Puyang Mata Empat. Keduanya ingin mengadu kesaktian dengan memilih tempat di sekitar Danau Ranau. Keduanya juga sepakat dengan cara saling ditimpa dengan buah aren, persis dibawah pohon aren. Yang pertama duduk di bawah pohon aren adalah nenek bermata empat dan Si Pahit Lidah naik ke atas pohon aren dan memotong serangkaian buah aren. Begitu rangkaian buah aren jatuh persis di atas ubun-ubun kepala, nenek bermata empat dengan mudah mengelak, karena ia bermata empat. Kendati Si Pahit Lidah marah-marah, tetpai ia tetap harus menghormati perjanjian dan kesepakatan yang telah dibuat.
Giliran Si Pahit Lidah duduk dibawah pohon aren dan nenek bermata empat naik ke atas pohon aren untuk memotong buah aren. Begitu tangkaian buah aren dipotong, rangkaian buah itu jatuh persis di atas kepala Si Pahit Lidah. Tanpa bisa mengelak, karena Si Pahit Lidah tidak bisa memprediksi saat jatuhnya rangkaian buah aren itu, lelaki itu akhirnya mati. Karena penasaran, nenek bermata empat ingin mengetahui lebih jauh mengapa sang jagoan itu diberi gelar Si Pahit Lidah. Ia mencicipi lidahnya. Apa yang terjadi? sekonyong-konyong nenek bermata empat pun langsung mati karena lidah milik Si Pahit Lidah mengandung racun kesaktian.
Kabarnya, makam Si Pahit Lidah ada di hutan di kawasan Danau Ranau. Sayangya tak banyak orang tahu tentang ini termasuk warga setempat.
Majalah Histeri Volume 21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan sesuai topik pembahasan.