Boleh percaya, boleh
tidak. Di dusun ini semua warganya
dilarang mendirikan rumah tembok yang permanen.
“Mau dibayar berapapun, saya tidak akan mengganti rumah saya dengan
rumah tembok,” begitu kata Wardi Utomo sesepuh Dusun Beteng. Ada apa sebenarnya dengan dusun ini? Apakah
ini yang namanya pantangan?
Inilah kisah unik dari sebuah dusun Beteng, kelurahan
Margoagung, kecamatan Sayegan, kabupaten Sleman, Yogyakarta. Kehidupan di desa ini dalam kesehariaanya,
berlangsung biasa-biasa sja seperti desa-desa yang lain. Secara fisik yang langsung terlihat adalah
bentuk bangunan rumah-rumah penduduk.
Ini pemandangan yang langsung bisa diketahui apalagi kita datang ke
sini, ke dusun ini.
Warga dusun Beteng
inisebagian besar rumahnya menggunakan bahan dasar dari kayu ataupun
bambu. Mereka tidak menggunakan bahan
tembok yang terbuat dari batu bata ataupun tembok yang menggunakan bahan dari
batako sekalipun. Tentu ini ada
sebabnya, padahal kalu mau warga penduduk yang mayoritas bekerja sebagai petani
tambakau ini, bisa saja membangun rumah tembok yang mewah sekalipun. Tetapi itu agaknya tidak dilakukan.
Dusun Beteng ini terletak di sebelah barat laut kota
Yogyakarta, kira-kira berjarak 30 km atau sebanding dengan perjalanan selama 45
menit dari pusat kota. Kata Beteng itu
sendiri dalam bahasa Jawa yang sebenarnya adalah diartikan sebagai tembok yang
kokoh, namun dalam penjabaran bahasa Jawa yang lebih luas lagi kata Beteng bisa
juga dimaknakan sebagai benteng atau tempat pertahanan pasukan dalam
peperangan. Kalau begitu lalu apa
kaitannya antara kata “Beteng” dengan dusun Beteng itu?
BENTENG GHAIB
Tanda tanya besarpun selalu ada dalam pikiran tentang
fenomena serta keunikan khas Dusun Beteng.
Itu semua terjawablah sudah melalui penuturan sesepuh dusun bernama
Wardi Utomo yang hingga saat ini masih setia dengan rumah kayunya. “Sampai kapanpun saya tidak akan membangun
rumah saya dengan rumah gedhong, atau rumah tembok,” katanya tegas. Gedhong dalam bahasa Jawa berarti rumah
permanen yang terbuat dari batu bata atau batako. “Dahulu ketika jaman perjuangan Pangeran
Diponegoro, beliau membuat benteng ghaib di dusun ini,” terangnya. Konon ketika peperangan yang dikobarkan oleh
Pangeran Diponegoro yang berlangsung sekitar tahun 1825-1830, pejuang sakti
kebanggaan kota Yogyakarta ini konon membangun benteng ghaib di lokasi Dusun
Beteng.
Kenapa bisa dikatakan ghaib? karena benteng itu hanya
bersifat maya alias tidak nampak. Bagi
orang pribumi atau pejuang tanah Jawa, hal itu tidak dirasakan, namun bagi
pasukan kompeni Belanda dari kejauhan sekitar dusun Beteng ini terlihat seperti
bagai terdapat benteng yang megah dan besar seolah berisi ribuan pasukan tanah
Jawa. “Itu kalau yang melihat orang kita
sendiri, sama sekali tidak nampak. Namun
kalau yang melihat orang-orang Belanda, dusun Beteng ini seperti sebuah benteng
yang isinya pasukan kita,” terangnya dengan nada berapi-api. Benteng ghaib ini ditunjukkan untuk
membendung laju pasukan Belanda yang akan memasuki bumi Mataram melalui arah
utara. Di utara dikenal ada wilayah
Ambarawa dan Bedono yang merupakan kantong-kantong basis pasukan Belanda kala
itu. Sedang pasukan kompeni sangat ingin
sekali menguasai tanah Mataram untuk dijadikan basis mereka berikutnya. Itulah sebabnya mengapa Perang Diponegoro
yang didukung dengan pasukan setianya berkobar hebat di Yogyakarta.
Pangeran Diponegoro memang dikenal sebagai pendekar sekaligus
pejuang asli tanah Jawa yang sakti mandraguna.
Hingga kini kebesaran nama Pangeran Diponegoro selalu diabadikan oleh
masyarakat Jawa. Tak hanya itu saja,
petilasan-petilasan beliaupun juga sampai sekarang sering dianggap keramat dan
memiliki kekuatan magis yang bisa dirasakan.
“Dulu ketika zaman perjuangan, pasti ada saja pasukan penjajah-penjajah
yang mati tanpa sebab ketika akan memasuki dusun Beteng ini. Padahal kami tidak mengapa-apakan, tahu-tahu
sudah ditemukan beberapa mayat bergelimpangan,” kenang Wardi Utomo mengingat
masa perjuangannya dahulu, ketika pria ini masih remaja. “Kalau kami menemukan pasukan yang meninggal
langsung kami makamkan di sana, sekalian juga kuda-kudanya,” terang veteran ini
sambil menunjuk ke arah timur, tempat dimana para korban perang itu
dimakamkan. Sungguh besar sekali
kekuatan ghaib Pangeran Diponegoro ini.
Baca juga: Bulan Yang Baik Untuk Mendirikan Rumah
Karena hal itulah yang kemudian dusun ini dinamai dusun
Beteng. Apa kaitan antara benteng ghaib
buatan Pangeran Diponegoro dengan pantangan warga dusun Beteng yang tidak boleh
membangun rumah dari tembok? Pantangan
membuat rumah dari batu bata memang sudah lama dipercaya bagi warga dusun
Beteng tak terkecuali. Pada umumnya,
warga takut dan tidak berani melanggar pantangan yang konon itu hanya berlaku
bagi warga dusun Beteng saja.
AKIBAT MELANGGAR PANTANGAN
“Warga di sini masih banyak yang percaya dengan pantangan
tersebut,” ujar kakek tua ini polos.
Kepercayaan turun temurun dari moyang hingga sampai pada saat ini masih
kental dirasakan oleh warga dusun Beteng yaitu tidak membuat rumah dengan
bangunan yang permanen. Tidak hanya
Wardi Utomo yang beranggapan seperti itu.
Mbah Amat Barjo pun juga mempercayai hal serupa dengan kebanyakan warga
lainnya. “Sejak dulu sampai sekarang
rumah saya ini ya tetap seperti itu tidak saya ubah-ubah,” kata nenek tua yang
suaminya juga seorang veteran perang ini.
Lantas apa kemudian konsekwensi yang didapat jika salah seorang warga
ada melanggar pantangan tersebut? “Wah
itu bisa parah mas…! Bisa-bisa mati secara tidak wajar dan tak terduga atau
bisa saja saudara lainnya yang akan kena musibah,” lanjut Wardi Utomo.
Diceritakan pula oleh sesepuh dusun ini, pernah suatu saat
ada yang nekat melanggar pantangan yang berlaku di dusun tersebut. Ada seorang warga yang memberanikan diri
merenofasi rumah yang dari bangunan permanen.
Apa yang didapatnya kemudian? tak beberapa waktu orang tersebut
meninggal secara mendadak. Tidak banyak
orang yang tahu sebab akan hal itu, namun banyak penduduk yang menyatakan kalau
inilah sebuah konsekuensi yang harus diterima ketika suatu pantangan dusun
dilanggar. Masih dengan inti cerita yang
sama, pada awalnya yang mati adalah hewan ternaknya, kemudaian orang yang
melakukan renovasi tersebut dan kemudian berujung kepada keluarga yang lainnya
turut terkena imbas penderitaan dengan mengalami berbagai penyakit aneh.
Baca Juga: Gangguan Arwah Seorang Teman
Agaknya dusun Beteng ini sangat teralarang bagi semua bentuk
bangunan permanen. “Jangankan rumah, pos
ronda kecil yang tidak dihuni saja, kami tidak berani membangun dengan batu bata,”
imbuh Wardi Utomo. Ini cerita lain,
suatu ketika ada pengerjaan makam dusun yang menurut warga makam tersebut sudah
saatnya harus diberi pagar keliling yang terbuat dari tembok permanen. “Saya sudah memperkirakan sebelumnya tentang
apa yang akan terjadi, namun itu tetap saja dilakukan. Pagar tembok keliling tetap dilakukan,” kata
Wardi Utomo, ketika itu. Dan apa yang
terjadi kemudian? Pembangunan tembok
makam umum dari batu bata itu, memakan korban jiwa. Salah seorang pekerja yang ikut mengerjakan
proses pembuatan tembok, mati mendadak.
SEKIAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan sesuai topik pembahasan.