2 Agustus 2016

BENTENG GHAIB PANGERAN DIPONEGORO DAN PANTANGAN MEMBUAT RUMAH TEMBOK


Boleh percaya, boleh tidak.  Di dusun ini semua warganya dilarang mendirikan rumah tembok yang permanen.  “Mau dibayar berapapun, saya tidak akan mengganti rumah saya dengan rumah tembok,” begitu kata Wardi Utomo sesepuh Dusun Beteng.  Ada apa sebenarnya dengan dusun ini? Apakah ini yang namanya pantangan?


Inilah kisah unik dari sebuah dusun Beteng, kelurahan Margoagung, kecamatan Sayegan, kabupaten Sleman, Yogyakarta.  Kehidupan di desa ini dalam kesehariaanya, berlangsung biasa-biasa sja seperti desa-desa yang lain.  Secara fisik yang langsung terlihat adalah bentuk bangunan rumah-rumah penduduk.  Ini pemandangan yang langsung bisa diketahui apalagi kita datang ke sini, ke dusun ini. 

Warga dusun Beteng inisebagian besar rumahnya menggunakan bahan dasar dari kayu ataupun bambu.  Mereka tidak menggunakan bahan tembok yang terbuat dari batu bata ataupun tembok yang menggunakan bahan dari batako sekalipun.  Tentu ini ada sebabnya, padahal kalu mau warga penduduk yang mayoritas bekerja sebagai petani tambakau ini, bisa saja membangun rumah tembok yang mewah sekalipun.  Tetapi itu agaknya tidak dilakukan.



Dusun Beteng ini terletak di sebelah barat laut kota Yogyakarta, kira-kira berjarak 30 km atau sebanding dengan perjalanan selama 45 menit dari pusat kota.  Kata Beteng itu sendiri dalam bahasa Jawa yang sebenarnya adalah diartikan sebagai tembok yang kokoh, namun dalam penjabaran bahasa Jawa yang lebih luas lagi kata Beteng bisa juga dimaknakan sebagai benteng atau tempat pertahanan pasukan dalam peperangan.  Kalau begitu lalu apa kaitannya antara kata “Beteng” dengan dusun Beteng itu?

BENTENG GHAIB
Tanda tanya besarpun selalu ada dalam pikiran tentang fenomena serta keunikan khas Dusun Beteng.  Itu semua terjawablah sudah melalui penuturan sesepuh dusun bernama Wardi Utomo yang hingga saat ini masih setia dengan rumah kayunya.  “Sampai kapanpun saya tidak akan membangun rumah saya dengan rumah gedhong, atau rumah tembok,” katanya tegas.  Gedhong dalam bahasa Jawa berarti rumah permanen yang terbuat dari batu bata atau batako.  “Dahulu ketika jaman perjuangan Pangeran Diponegoro, beliau membuat benteng ghaib di dusun ini,” terangnya.  Konon ketika peperangan yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro yang berlangsung sekitar tahun 1825-1830, pejuang sakti kebanggaan kota Yogyakarta ini konon membangun benteng ghaib di lokasi Dusun Beteng.



Kenapa bisa dikatakan ghaib? karena benteng itu hanya bersifat maya alias tidak nampak.  Bagi orang pribumi atau pejuang tanah Jawa, hal itu tidak dirasakan, namun bagi pasukan kompeni Belanda dari kejauhan sekitar dusun Beteng ini terlihat seperti bagai terdapat benteng yang megah dan besar seolah berisi ribuan pasukan tanah Jawa.  “Itu kalau yang melihat orang kita sendiri, sama sekali tidak nampak.  Namun kalau yang melihat orang-orang Belanda, dusun Beteng ini seperti sebuah benteng yang isinya pasukan kita,” terangnya dengan nada berapi-api.  Benteng ghaib ini ditunjukkan untuk membendung laju pasukan Belanda yang akan memasuki bumi Mataram melalui arah utara.  Di utara dikenal ada wilayah Ambarawa dan Bedono yang merupakan kantong-kantong basis pasukan Belanda kala itu.  Sedang pasukan kompeni sangat ingin sekali menguasai tanah Mataram untuk dijadikan basis mereka berikutnya.  Itulah sebabnya mengapa Perang Diponegoro yang didukung dengan pasukan setianya berkobar hebat di Yogyakarta.



Pangeran Diponegoro memang dikenal sebagai pendekar sekaligus pejuang asli tanah Jawa yang sakti mandraguna.  Hingga kini kebesaran nama Pangeran Diponegoro selalu diabadikan oleh masyarakat Jawa.  Tak hanya itu saja, petilasan-petilasan beliaupun juga sampai sekarang sering dianggap keramat dan memiliki kekuatan magis yang bisa dirasakan.  “Dulu ketika zaman perjuangan, pasti ada saja pasukan penjajah-penjajah yang mati tanpa sebab ketika akan memasuki dusun Beteng ini.  Padahal kami tidak mengapa-apakan, tahu-tahu sudah ditemukan beberapa mayat bergelimpangan,” kenang Wardi Utomo mengingat masa perjuangannya dahulu, ketika pria ini masih remaja.  “Kalau kami menemukan pasukan yang meninggal langsung kami makamkan di sana, sekalian juga kuda-kudanya,” terang veteran ini sambil menunjuk ke arah timur, tempat dimana para korban perang itu dimakamkan.  Sungguh besar sekali kekuatan ghaib Pangeran Diponegoro ini. 


Karena hal itulah yang kemudian dusun ini dinamai dusun Beteng.  Apa kaitan antara benteng ghaib buatan Pangeran Diponegoro dengan pantangan warga dusun Beteng yang tidak boleh membangun rumah dari tembok?  Pantangan membuat rumah dari batu bata memang sudah lama dipercaya bagi warga dusun Beteng tak terkecuali.  Pada umumnya, warga takut dan tidak berani melanggar pantangan yang konon itu hanya berlaku bagi warga dusun Beteng saja.

AKIBAT MELANGGAR PANTANGAN
“Warga di sini masih banyak yang percaya dengan pantangan tersebut,” ujar kakek tua ini polos.  Kepercayaan turun temurun dari moyang hingga sampai pada saat ini masih kental dirasakan oleh warga dusun Beteng yaitu tidak membuat rumah dengan bangunan yang permanen.  Tidak hanya Wardi Utomo yang beranggapan seperti itu.  Mbah Amat Barjo pun juga mempercayai hal serupa dengan kebanyakan warga lainnya.  “Sejak dulu sampai sekarang rumah saya ini ya tetap seperti itu tidak saya ubah-ubah,” kata nenek tua yang suaminya juga seorang veteran perang ini.  Lantas apa kemudian konsekwensi yang didapat jika salah seorang warga ada melanggar pantangan tersebut?  “Wah itu bisa parah mas…! Bisa-bisa mati secara tidak wajar dan tak terduga atau bisa saja saudara lainnya yang akan kena musibah,” lanjut Wardi Utomo.



Diceritakan pula oleh sesepuh dusun ini, pernah suatu saat ada yang nekat melanggar pantangan yang berlaku di dusun tersebut.  Ada seorang warga yang memberanikan diri merenofasi rumah yang dari bangunan permanen.  Apa yang didapatnya kemudian? tak beberapa waktu orang tersebut meninggal secara mendadak.  Tidak banyak orang yang tahu sebab akan hal itu, namun banyak penduduk yang menyatakan kalau inilah sebuah konsekuensi yang harus diterima ketika suatu pantangan dusun dilanggar.  Masih dengan inti cerita yang sama, pada awalnya yang mati adalah hewan ternaknya, kemudaian orang yang melakukan renovasi tersebut dan kemudian berujung kepada keluarga yang lainnya turut terkena imbas penderitaan dengan mengalami berbagai penyakit aneh. 


Agaknya dusun Beteng ini sangat teralarang bagi semua bentuk bangunan permanen.  “Jangankan rumah, pos ronda kecil yang tidak dihuni saja, kami tidak berani membangun dengan batu bata,” imbuh Wardi Utomo.  Ini cerita lain, suatu ketika ada pengerjaan makam dusun yang menurut warga makam tersebut sudah saatnya harus diberi pagar keliling yang terbuat dari tembok permanen.  “Saya sudah memperkirakan sebelumnya tentang apa yang akan terjadi, namun itu tetap saja dilakukan.  Pagar tembok keliling tetap dilakukan,” kata Wardi Utomo, ketika itu.  Dan apa yang terjadi kemudian?  Pembangunan tembok makam umum dari batu bata itu, memakan korban jiwa.  Salah seorang pekerja yang ikut mengerjakan proses pembuatan tembok, mati mendadak.

SEKIAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan sesuai topik pembahasan.