Pecinta Alam |
Suku Asmat di Papua, sudah sangat populer. Popularitas suku pedalaman yang masih
primitif ini bukan lagi bertaraf nasional atau regional, melainkan sudah
populer hingga ke tingkat dunia. Yang
menjadikan Suku Asmat populer hingga go Internasional tidak lain berkat
kehebatan seni patungnya.
Termotivasi kabar yang sangat santer menjadi alasan
klub pecinta alam Manggarai, Jakarta Selatan berkunjung langsung ke Papua. Klub yang dipimpin Pendi (33 tahun), tiba di
kampung Suku Dani persis di lembah Baliem sekitar jam 5 sora waktu setempat.
Diluar dugaan, ternyata penduduk suku pedalaman itu sangat ramah. Padahal, menurut buku-buku petualangan yang
pernah dibaca, tabiat yang mendominasi penduduk suku pedalaman itu adalah
sangat sulit menerima orang asing dan mereka selalu curiga. Tabiat penduduk suku Dani tidak termasuk
dalam kebanyakan suku primitif lain di muka bumi ini. Mereka sangat familier. Familier yang mereka tunjukkan tentu saja
sangat melegakan peserta yang tergabung dalam klub dari Manggarai itu.
Setibanya di tengah-tengah pemukiman yang berada di
lembah Baliem itu, yang pertama kali dikerjakan Pendi bersama tiga rekannya,
mencari tempat tinggal tetua suku (semacam ketua RT). Rumah yang dituju ternyata sangat
sederhana. Mulai atap hingga dinding
seluruhnya terbuat dari unsur pepohonan, tanpa ada campuran semen dan
sejenisnya. Begitupun penghuni rumah
itu, Wika Obohok sangat ramah meski mukanya sangat khas, keras dan cukup
menakutkan. Sebagai tetua kampung, pria
gagah itu masih terlalu muda, umurnya tidak lebih dari 40 tahun atau berkisar
antara 38-an tahun. Tetapi penguasaanya
terhadap bahas persatuan, menempatkannya sebagai tetua kampung. Selidik punya selidik ternyata Wika Obohok sempat
mengenyam pendidikan hingga bangku sekolah menengah di salah satu kota
kabupaten di Papua. Untuk ukuran
penduduk primitif, sekolah lanjutan termasuk sangat langka dan orang yang
mengantongi ijazahnya tentu punya nilai tersendiri di kalangan penduduk di
kampungnya.
Suku Asmat |
Pendi dan anggota klubnya langsung akrab, sehingga tanpa sungkan, Wika
Obohok menyodorkan data-data yang dibutuhkan tamunya. Menurut data yang diberikan pria berkulit
hitam itu, hutan Papua memiliki 10.000 jenis flora, 2.770 diantaranya jenis
anggrek dan 650 jenis burung, 125 jenis mamalia dan penduduk Suku Asmat
berjumlah 60.000 jiwa dengan hidup mengelompok.
Saat pendi minta bantuan mencarikan pemandu, Wika
Obohok justru menawarkan dirinya sendiri menjadi pemandu. Karena dia sendiri yang meminta, Pendi tidak
merasa jengah meski Wika Obohok selaku tetua kampung. Pagi berikutnya Wika Obohok resmi mendaji
guide (pemandu) bagi klub petualang asal ibukota negara itu. Sepanjang perjalanan, Wika Obohok atau akrab
disapa Obohok, banyak bercerita mengenai patung-patung Asmat beserta berbagai
hal mistis yang terkandung didalamnya.
Kata Obohok, patung Asmat mempunyai tingkat daya magis tinggi, apalagi
yang berusia diatas 200 tahun. “Menurut leluhur, setiap patung dihuni roh
pemimpin suku. Jahat atau tidaknya
pengaruh patung itu, tergantung roh penghuninya.” Kata Obohok.
Selama menyusuri jalanan di lembah Baliem, banyak
dijumpai jejeran batu-batu besar ataupun pohon-pohon yang diukir di pinggir
jalan. Dijelaskan Obohok, ukiran batu
dan pepohonan itu telah disurupi arwah keluarga yang terbunuh dalam pertempuran
dengan kampung tetangga. Dia mengatakan
pada saat itu sering terjadi perang antar suku di Papua diantaranya pertempuran
antara Suku Asmat dengan salah satu suku yang kurang populer dimana suku
tersebut masih sangat liar serta kanibal.
Terlepas dari berbagai hal mistis dan kerap dianggap irasional, Pendi
maupun anggota klubnya tetap terkagum-kagum dengan ukirannya. Sungguh ajaib dan hidup! Karya seni yang
paling luar biasa diduni primitif. Untuk
masuk perkampungan suku Asmat, diperlukan kesiapan mental yang kuat. Selama di perjalanan, Obohok terus bercerita
terutama hal-hal mistis yang menjadi topik pembicaraanya.
Akhirnya sampailah rombongan orang kota itu ke salah
satu dinding tebing. Dinding tebing
itupun penuh dengan tonjolan-tonjolan bebatuan yang sudah dipahat. Menjadi relief-relief yang nampak sangat
artistik. Keartistikan bentuk relief di
tempat itu, tidak mengurangi daya magis yang ada.
Pendi yang sedikit mendalami ilmu supranatural dari pamannya di Gunungjati
Kota Cirebon, Jawa Barat sesekali mengelus permukaan punggung lengannya. Bulu pada lengannya meremang berdiri serta
seakan ada sapuan angin menyerupai udara dari air Conditioning (AC). Interaksi dengan penghuni ghaib, dia bisikkan
ke telinga Erik di sampingnya.
Pembicaraan Pendi dan Erik meski volumenya sengaja
direndahkan tetap saja mengundang minat Hamdan dan Safei yang melangkah
dibelakang. Ternyat, keduanya juga
merasakan hal yang sama. Hanya saja,
baik Hamdan maupun Safei menghubungkan hal itu dengan gejala alam biasa. Pada bagian tebing, terdapat goa cukup
besar. Disalah satu mulut goa Obohok
membentangkan sepasang lengannya mengisyaratkan supaya empat orang di
belakangnya menghentikan langkah.
Laki-laki berkulit hitam legam itu lalu meletakkan sepasang tangannya di
depan dada menyerupai orang sungkem.
Gerak-gerik Obohok membuat aneh Pendi dan teman-temannya. Apa maksud meminta rombongan menghentikan
langkah, padahal di depannya hanya ada rongga gelap mulut goa berdiameter 2,5
meteran. Usai sungkem Obohok baru
menjelaskan kalau goa itu peninggalan penguasa ghaib bukit tersebut. Mewakili teman-temannya Pendi meminta izin
memasuki goa tersebut.
Obohok tidak langsung menjawab, tapi ekspresi wajahnya
langsung berubah. Lantas Obohok
menggeleng ragu. Penasaran Pendi sedikit
memaksa. Lagi-lagi Obohok menggeleng,
kali ini sedikit lebih tegas. Karena
tidak mungkin memaksa terus, Pendi hanya menarik nafas kecewa. “Pangamben tidak bisa untuk main-main ataupun
untuk iseng, berbahaya?” Kata Obohok. “Pengamben
itu manusia?” tanya Pendi. “Bukan,
beliau adalah makhluk dari bangsa Jin kuno yang mudah tersinggung,” Kata
Obohok. “Laki-laki?” tanya Pendi
lagi. “Bukan, tapi perempuan. Umurnya tidak ada yang tahu pasti, tatapi
diperkirakan umurnya sekarang sudah diatas seratus ribu tahun.” Kata
Obohok. Mendapat penjelasan semacam itu,
Erik tertawa tertahan. Untung tidak
sampai terdengar Obohok. Pendi
menyarankan jangan mentertawakan apapun di tempat asing, sangat tidak
sopan.
“Apa yang lucu?” bisik Pendi.
“Masa’ iya sih umurnya seratus ribu tahun? ngarang saja,” Bisik
Erik. “Jin itu umurnya panjang-panjang,
yang normal saja rata-rata mencapai sepuluh ribu tahun. Kalau sampai seratus ribu tahun, itu jelas
termasuk jin kuno berilmu sangat tinggi.” Kata pendi. “Oooohh…”, Erik manggut-manggut. Obohok membawa pulang rombongan klub sekitar
jam 3 sore. Maklum cuaca saat itu kurang
mendukung serta ada gelagat bakal turun hujan.
Di Papua, jika sudah hujang bakal diiringi badai ganas. Setelah menuntaskan makan sore di serambi
rumah Obohok, tiga anggota klub mengambil tikar untuk alas rebahan.
Obohok masih serius bincang-bincang dengan Pendi di
serambi rumah sambil menikmati tembakau.
Puas menyerap berbagai informasi, Pendi pamit bergabung bersama para
anggotanya di bagian belakang rumah yang menghadap ke tebing. Obohok memilih pergi ke rumah penduduk lain
untuk menyampaikan informasi keberadaan para tamu dari ibukota negara
dirumahnya. Pendi tak langsung
rebahan. Dia duduk tepat di tengah
ambang pintu, sehingga dia lebih leluasa menyaksikan bukit dari kejauhan dengan
tebingnya yang dipenuhi relief beraromah magis.
Ada dorongan yang tumbuh dari ruang batinnya untuk menguak misteri di
dalam goa yang ditakuti Obohok.
Saat keinginannya itu dilontarkan, di luar dugaan,
ketiga rekannya pun punya keinginan yang sama.
Menurut mereka, sangatlah rugi bila teka-teki goa keramat itu hanya
menyesaki rongga kepala sampai kembali ke ibukota, mengingat biaya yang
dikeluarkan ke Lembah Baliem ini tidaklah kecil untuk ukuran kantong klub
petualangan swasta seperti mereka.
Karena sudah ada kesepahaman, tanpa meminta panduan Obohok, mereka
secara diam-diam menyelinap dari belakang rumah menuju ke bukit di kejauhan
sana. Jalan yang dilalui berbeda dengan
jalan tadi, mereka sengaja memilih jalan lain yang tidak ditempuh bersama
Obohok tadi siang. Mereka melangkah
terburu-buru agar lekas tiba di tempat tujuan.
Seperti sebelumnya, kali inipun, pada saat tiba di sekitar mulut goa,
bulu roma masing-masing serempak berdiri.
Sehingga sedikit muncul keragu-raguan untuk menerobos masuk ke
dalamnya. Setelah berembug, akhirnya
mereka melaksanakan niatnya. Diawali
Pendi selaku ketua regu diikuti Erik dan dua teman lainnya memasuki lorong
goa. Di dalam kondisi sangat gelap, mereka
pun menggunakan senter mini yang memang sudah dipersiapkan. Pendi melangkah hati-hati mengikuti lorong
yang berliku-liku itu sambil tetap menjaga kewaspadaan.
Sepanjang lorong goa, detak jantung tidak pernah
tenang. Mereka terus dikejutkan atas
berbagai tonjolan batu yang sudah dipahat membentuk kepala patung berbagai
wujud. Disalah satu ruang cukup luas,
mereka terpekik kaget manakala menyaksikan tumpukan tulang belulang serta
tengkorak manusia. Timbunan tulang
belulang itupun buru-buru dilewati. Pada
lorong berikutnya, ditemukan berbagai macam patung batu. Kebanyakan berbentuk kepala berbagai jenis
binatang melata berseling kepala perempuan cantik. Patung-patung itu ditumbuhi lumut ataupun
lumpur, menandakan kalau tempat itu jarang sekali disinggahi manusia.
Semakin ke dalam, hawa dingin semakin menggigit
tulang. Mereka mengeluh kecil, merasakan
betapa permukaan kulitnya seperti hendak membeku. “Dingin sekali disini…jangan-jangan…!” Keluh
Hamdan. Bukan hanya Hamdan yang
merasakan keanehan pada suhu udara di dalam goa itu. Bahkan bibir Safei mulai bergetar hebat. Begitupun Erik dan Pendi, mereka semua
merasakan deraan dingin yang tidak wajar.
“Hei…! Lihat kesana…!!” Pekik Erik seraya mengarahkan jari telunjuknya
dan langsung diikuti cahaya senter dari tangan Pendi. Mulut mereka nyaris secara serempak
melontarkan decakan kagum. Pada tonjolan
tikungan dinding goa, dimana berdiri patung perempuan telanjang. Tidak seperti patung yang lain, kali ini
patung tersebut sangat sempurna.
Menggambarkan sosok perempuan mulai dari telapak kaki, lekuk liku
tubuhnya yang indah, wajah yang cantik dengan rambut keriting sebatas
bahu. Di saat teman-temannya
terkagum-kagum, Erik bergerak maju.
Sembrono sekali tubuh bugil patung itu dibelai mulai
dari betis hingga pipi. Bahkan pada
tonjolan dada, Erik mendesis-desis seperti sangat meresapi. Melihat tingkah Erik, Hamdan dan Safei
terpingkal-pingkal. Lain hanya dengan
pendi, wajahnya langsung berubah. Dia
sangat tidak berkenan atas kelakuan Erik yang urakan seperti itu. Tetapi Pendi menghindari ada pertengkaran
maka dengan nada yang dilembutkan, dia mengingatkan Erik untuk menyudahi aksi
cabulnya itu. Tetapi peringatan Pendi
tidak digubris. Sehingga Pendi hanya
bisa menarik nafas dongkol. Alih-alih
menyudahi aksinya, sekarang Erik bahkan berani sekali berdiri disamping patung
dengan lengan kanan memeluk pantat yang besar itu. Dia meminta Hamdan untuk mengabadikannya
lewat pemotretan. Hamdan bergegas mengeluarkan
kamera digital dari sarungnya. Kamera
dibidikkan ke arah Erik. Penuh
konsentrasi, Hamdan mengamati layar digital di genggaman tangannya, tapi tidak
juga memijit tombol kameranya.
Berkali-kali mata Hamdan dialihkan dari layar kamera ke arah
patung. Hal itu membuat heran
rekan-rekannya.
“Kok lama banget sih?...cepet ntar lu giliran difoto!” Teriak Erik.
Hamdan seakan tidak mendengar teriakan Erik. Hal itu membuat penasaran Pendi, lalu dia
hampiri posisi Hamdan. Hamdan langsung
menunjuk ke arah layar kamera.
Pendi pun terlonjak kaget. Pada layar kamera, jelas terlihat Erik
berdiri mesra di samping perempuan bugil, bukan patung perempuan bugil
melainkan, perempuan hidup menampakkan ekspresi wajah sangat marah. Sangat penasaran, Pendi mengangkat muka dari
layar kamera ke arah patung. Kali ini
Pendi menjerit histeris. Hamdan dan
Safei serempak menatap ke arah patung.
Dan mereka langsung terpekik ngeri.
Penasaran Pendi melangkah lebar ke arah patung. Yang semula hanya satu patung, kini ditempat
itu ada 2 patung. Patung kedua tak lain
Erik. Pendi meraba-raba wajah Erik. Erik memang sudah berubah menjadi batu. Mendapati kenyataan sepahit itu, Pendi seakan
menerima pukulan berat. Dadanya sakit
sekali. Dia langsung membayangkan murka
orang tua Erik. Kondisi paling buruk
bisa saja dia menerima tuntutan hukum dari orang tua temannya itu.
Pendi langsung mengajak Hamdan dan Safei agar segera
keluar dari dalam goa sebelum kejadian buruk lainnya satu demi satu menimpa
mereka. Setibanya di rumah, disambut
wajah sangar Obohok. Rupanya Obohok
sudah tahu dari mana mereka selama beberapa jam itu. Tanpa bisa mengelak, Pendi mengakui
kekhilafaanya. Rupanya Obohok terlanjur
marah. Keesokan harinya, Obohok setengah
mengusir menyuruh rombongan klub pecinta alam itu agar meninggalkan
kampungnya. Dengan hati terasa berat,
Pendi menuruti perintah Obohok.
Menjelang petang, Pendi, Hamdan dan Safei sudah tiba di Jakarta. Tujuan pertama mereka tak lain menyambangi
rumah orang tua Erik. Dia akan berterus
terang atas peristiwa yang telah menimpa Erik.
Memasuki mulut gang, Pendi dan dua temannya saling berpandangan dengan
aneh.
Dihalaman rumah yang akan mereka tuju itu sudah
dipenuhi warga. Langkahpun dipercepat
dan setibanya di depan rumah, langsung disongsong isak tangis Bu Darsinih, ibu
kandung Erik. Wanita paruh baya yang
puluhan tahun menjanda itu terbata-bata menjelaskan kepada Pendi dan dua
temannya. “Tiga jam lalu Erik meninggal,
Dia…dia kesetrum listrik di Musholla.
Padahal sudah diingatkan,” Tutur
bu Darsinih. Penjelasan itu semakin
membuat bingung Pendi maupun kedua temannya.
Tanpa berupaya untuk berdebat, Pendi diikuti dua temannya menerobos
memasuki ruang tamu. Diatas lantai,
sesosok tubuh terbujur kaku dan sudah ditutup kain. Penasaran Pendi menyingkap bagian
wajahnya. Jelas sekali wajah Erik sangat
pucat. Lalu siapa yang berubah menjadi
patung didalam goa sana? Teka-teki itu langsung disimpan rapat-rapat di benak
Pendi, Hamdan maupun Safei dan berjanji keajaiban atas diri Erik hanya menjadi
penghuni lembar buku diary mereka.
SEKIAN
Pesan Hikmah:
Berlaku sopan wajib dibiasakan sejak
kanak-kanak sebab jika terbiasa berperilaku sopan, maka akan mudah mendapatkan
simpati dari orang lain. Namun bukan
hanya manusia yang simpati pada kesopanan, makhluk halus sebangsa jin pun
menyukainya dan akan murka terhadap manusia yang tidak sopan apalagi berlaku
cabul. Setidaknya peristiwa tragis yang
menimpa salah seorang anggota pecinta alam asal Jakarta, cukup dapat dijadikan
cermin, bahwa akibat berlaku cabul saat berada di dalam goa keramat Papua, dia
terpaksa mengalami peristiwa tragis hingga merenggut nyawanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan sesuai topik pembahasan.