25 Desember 2018

LEGENDA KEMBANG WIJAYA KUSUMA

Kembang Wijayakusuma
Bunga (kembang) ini dipercaya mampu menghidupkan orang mati.  Apakah mati dalam arti sesungguhnya, atau menghidupkan jiwa yang sedang mati.  Berikut ini paparan tentang Kembang Wijaya Kusuma.

Bermula dari kerajaan Kediri di bawah kekuasaan Prabu Aji Pamoso yang sakti mandraguna.  Ia berebut pengaruh dengan Maharesi Kano.  Akibatnya, Maharesi Kano harus terusir dari kerajaan Kediri.  Ia pergi mengingglakan istana hingga akhirnya sampai di pantai selatan pulau Jawa.  Pantai inilah yang sekarang dikenal sebagai Cilacap.  Di tepi pantai ini pula ia bertapa.

Prabu Aji Pamoso terus mencari lawannya.  Ia rupanya takkan pernah puas jika belum menemukan Maharesi Kano.  Setelah sekian lama mencari, Maharesi Kano berhasil ditemukan ketika masih dalam keadaan bertapa.  Prabu Aji Pamoso bermaksud langsung menghabisinya.  Namun, saat itu juga, jasad Maharesi Kano moksa dengan diiringi suara gemuruh dan angin ribut yang sangat menakutkan.  Ternyata suara menakutkan ini berasal dari seekor naga laut yang sangat besar dan ganas, yang murka dan seakan-akan ingi memakan mentah-mentah Prabu Aji Pamoso.

Ketika melihat kemunculan sang Naga, dengan sigap raja sakti itu melepaskan anak panahnya yang beranama Saruhutama.  Anak panah ini tepat mengenai naga launt saat mulutnya terbuka.  Seketika itu si naga mati dan musnah.  Setelah sang naga laut mati, muncul seberkas cahaya kehijauan dari timur.  Cahaya itu berjalan di atas air dan rupanya berasal dari tubuh seorang wanita yang sangat cantik.  Ia mengucapkan terima kasih pada Prabu Aji Pamoso, karena telah membebaskan dirinya dari kutukan dewata yang sudah ratusan tahun lamanya.  Wanita itu bernama Dewi Wasowati.

Keduanya kemudian saling jatuh cinta.  Hingga konon terjadilah hubungan intim di dalam sebuah perahu kecil.  Setelah itu mereka berpisah.  Namun sebelum berpisah, Dewi Wasowati memberi cendera mata berupa sekuntum bunga.  "Inilah cangkok Wijaya Kusuma yang tidak akan Paduka temukan di alam nyata.  Siapa yang bisa memiliki cangkok Wijaya Kusuma ini akan menurunkan raja-raja yang berkuasa di tanah Jawa," katanya.

Peristiwa penyerahan cangkok Wijaya Kusuma itu konon berlangsung di pulau Karang, yang kemudian diberi nama Nusa Kembangan, yang artinya pulau tempat menyerahkannya bunga (Kembang).  Lama kelamaan ucapan itu berganti menjadi Nusa Kambangan.  Setelah menyerahkan cangkok Wijaya Kusuma, Dewi Wasowati lenyap dari pandangan mata.  Prabu Aji Pamoso pun kembali mengayuh sampannya menuju pantai Cilacap.  Sayangnya, karena ombak yang besar perjalanan ini tidak berjalan mulus.  Bahkan cangkok Wijaya Kusuma jatuh ke laut, dan gagal dibawa pulang ke Kediri.

Bunga ini kemudian terbawa ombak dan terdampar di pulau Bandung atau pulau Wijayakusuma.  Seiring perjalanan sang waktu, bunga itu tumbuh di pulau Karang hingga atau Nusa Kambangan sekarang ini.  Umurnya sudah ratusan tahun, dengan hanya memiliki ketinggian sekitar 3 meter saja.  Tumbuhan ini mirip bonsai dengan akar yang mencengkeram bebatuan.

Dalam alam spiritual, untuk mendekati pohon bunga ini sangatlah sulit, karena selain aura yang sangat kuat, bunga ini juga dijaga berbagai binatang, terutama berbagai jenis ular berbisa.  Yang menjadi pemimpinnya adalah seekor ular yang disebut Puspa Kajang Kuning, yang besarnya seperti pohon kelapa.  Anehnya, ular ini bertanduk.  Siapapun yang mendekatinya pasti akan tersengat aura bisanya.

Sementara itu, hubungan badan antara Dewi Wasowati dengan Prabu Aji Pamoso yang hanya sesaat itu, ternyata telah menumbuhkan benih dalam rahimnya.  Setelah pertemuan itu, sang Dewi pun mendirikan sebuah kerajaan di sebuah pulau dekat Nusa Kambangan.  Karena saat mendirikan kerajaan ini Dewi Wasowati diperutnya ada benih, maka pulau itu kemudian diberi nama Nusa Pawinihan atau Nusa Tembini.  Dan kerajaannya itu pun diberi nama kerajaan Nusa Tembini.

Dewi Wasowati merupakan cikal bakal dinasti Nusa Tembini, yang kerajaannya pernah ada dan sebagaimana termasuk dalam Babad Pasir dan Babad Noesa Tembini.  Dewi Wasowati ini, sering disebut Dewi Laut, Sang Dyah Ayu Dewi Angin-Angin.  Sedang keturunannya, Retno Dewi Sri Wulan atau Ratu Retno Dewi Brangtarara, juga terkenal dengan sebutan Ratu Handorowati, yang berpakaian putih naik kuda.  Ia pernah melakukan kudeta kekuasaan di Laut Kidul.

Ratu Retno Dewi Brangtarara yang dianggap beraliran hitam, sering disebut Ratu Balorong, atau terkenal dengan nama Nyi Blorong.  Karena itulah ada dua kubu kekuatan di keraton lelembut Laut Kidul, yakni kekuatan white magic dan black magic.  Dan dimanapun tempatnya kedua kubu ini akan saling taring menarik kepentingan.

Bunga Wijayakusuma milik Dewi Wasowati merupakan bunga dari Khayangan Jonggring Saloka.  Bunga ini merupakan simbol kesucian.  Meski wilayah Nusa Kambangan yang sebagian besar telah dikuasai Ratu Blorong, namun di pulau Wijayakusuma ini intinya tak tersentuh.

Sesungguhnya ular Puspo Kajang Kuning bertanduk itu juga bukan penjaga Wijayakusuma.  Makhluk siluman ini hanya dipercaya Ratu Handorowati alias Nyi Blorong untuk menghalangi siapapun, baik manusia ataupun makhluk halus, yang akan mengambil bunga itu.  Blorong rupanya sangat tahu diri, jika bunga ini sampai jatuh kembali ke tangan Dyah Ayu Dewi Angin-Angin atau ibunya, maka kekuatan tempur pasukan Ratu Blorong akan semakin melemah.

Saat Sri Bhathara Krisna mokswa, bunga Wijayakusuma di labuh di lautan Untararasegara.  Sementara di kerajaan Teguh Dharmawangsa, mertua Airlangga mengalami pralaya ini tahun 1016 Airlangga menemukan kembali bunga Wijayakusuma ini.  Konon ketika itu Airlangga baru berusia 16 tahun.

Dalam pelariaannya meninggalkan istana Teguh Dharmawangsa (Mataram Kuno) diiringi oleh pengawal setianya Niti dan Narotama, berhasil meloloskan diri naik perahu melalui laut utara menuju barat.  Bersamaan dengan itu, terjadi letusan Krakatau.  Samudera pun bergejolak hebat.  Namun anehnya perahu yang dinaiki Airlangga dan para pengikutnya seakan dapat berlayar dengan mulus.  Karena itulah Airlangga mendapat julukan Sang Jalalanka (dia yang berjalan di atas air).  Konon pula, hal ini terjadi karena mangkok Wijayakusuma yang dulu dilabuh Sri Bhathara Krisna di lautan Untarasegara menempel di perahu Airlangga.

Cangkok Wijayakusuma telah menemukan kembali tuahnya.  Oleh Airlangga, mustika ini diwariskan pada prabu Jayabaya, terus ke prabu Aji Pamoso dan berlanjut ke Raden Wijaya (Kertarajasa, Jayawardhana, pendiri kerajaan Majapahit).  Dan pada masa pemerintahan raden Kalagemet, pusaka Bunga Wijayakusuma ini hilang tak tahu rimbanya.

Bunga Wijayakusuma saat menjelang keruntuhan Majapahit, dicari oleh Mpu Supo dan ternyata ditemukan di pulau Nusa Kambangan.  Menurut kepercayaan, siapapun yang berjodoh dengan bunga Wijayakusuma ini, maka akan meningkatkan kewibawaan, terhindar dari segala petaka, tak kekurangan harta, mampu menyembuhkan berbagai penyakit bahkan menghidupkan orang mati yang belum saatnya.

Mengapa Wijayakusuma dijadikan pusaka kerajaan? Karena mengandung arti, Wijaya = Kemenangan, Kusuma = bunga.  Artinya seorang raja bukan hanya harus memenangkan perang fisik saja, melainkan juga nafsu batin pada diri sendiri.  Karena itulah kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat hingga kini masih menerapkan tradisi ini.

Sementara menurut kalangan spiritual kejawen, pengambilan bunga Wijayakusuma di Karang Bandung, sebenarnya lebih bermakna spiritual dan bukan hanya semata fisik belaka.  Dahulu kala, laku batin dan laku fisik untuk mengambil bunga Wijayakusuma sangat rumit dan sulit.  Para abdi dalam keraton yang ditunjuk untuk ekspedisi ini harus puasa dulu.  Lalu berjalan kaki melewati Boyolali menuju puncak gunung Merapi dulu untuk menemui eyang Petruk dan kanjeng Ratu Mas lalu turun menuju kota tua Magelang, Wonosobo, Purwokerto terus ke Cilacap.

Jika lancar memakan waktu setengah bulan.  Setelah itu baru naik sampan menuju daratan Nusa Kambangan, terus menyeberang lagi ke pulau Karang Bandung.  Bokor Kencono dibuka dan diletakkan dibawah pohon Wijayakusuma, dan utusan itu semedi semalam suntuk menunggu jatuhnya bunga Wijayakusuma di Bokor Kencono.

Biasanya tengah malam bunga mistis itu akan jatuh di Bokor.  Tak seorangpun abdi dalem diperbolehkan melihat bunga yang jatuh.  Paginya utusan itu kembali ke keraton.  Sampai di keraton dimasukkan ke Gedong Pusaka dan hanya raja yang boleh melihatnya.

Konon jumlah kelopak yang jatuh itu merupakan wangsit yang menunjukkan lamanya raja yang akan berkuasa.  Terakhir keraton Kasunanan Surakarta melakukan ritual ini semasa Sinuhun Paku Buwono XII.  Namun pencarian ini bukan saat penobatan, tapi setelah 5 hari penobatan (17 Juli 1945) dengan menggunakan mobil mini bus.

Ada 2 jenis Wijayakusuma yang dikenal di masyarakat luas yang masuk keluarga tanaman hias dengan nama latin Epiphyllum Oxypetalum.  Sedangkan yang tumbuh di Karang Bandung dan dikeramatkan itu justru tidak dikenal luas, nama latinnya Pisonia Grandis Var Silvestaris.  Bentuknya lebih mirip Kol Banda.

Jenis Wijayakusuma keramat ini, tumbuh di beberapa tempat di Indonesia tapi hanya mau berbunga di tiga pulau keramat yakni Karang Bandung, Nusa Kambangan, pulau Karimunjawa dan Bali.  Wijayakusuma Pisona Grandis ini sangat sulit sekali berbunga.

Menurut sebuah kisah kuno, sunan Kalijaga priyagung yang waskita batin pernah menyebutkan bahwa kerajaan Majapahit setelah ditinggal Prabu Hayam Wuruk karena wafat, maka berarti telah ditinggal pula oleh pusaka kerajaan Wijayakusuma.  Karena itulah raja-raja pengganti Majapahit hanya ibarat Ratu tanpa Wahyu sehingga kerajaannya semakin sempit dan berakhir kelam.

Untuk memulihkan kembali pamor kerajaan Majapahit, harus dicari Wahyu Wijayakusuma.  Sunan Kalijaga berusaha mencarinya.  Ia memulai perjalanan dari suatu tempat bernama Semaki, kemudian mengembara sambil mensyiarkan Islam pada daerah yang dilewatinya.  Ketika tiba di Piyungan, Yogyakarta, sunan Kalijaga bertemu dengan seorang pemuda yang sedang murung.  Si pemuda duduk di atas bebatuan bekas reruntuhan candi.  Tubuh pemuda ini penuh dengan luka, yang meski sudah mengering namun masih terlihat bekasnya.  Ketika ditanya pemuda itu mengaku bernama Joko Supo.  Ia adalah putera seorang Mpun Kerajaan Majapahit yang bernama Mpu Supo Driyo.  Joko Supo lari dari Majapahit karena ingin mengadakan perubahan dari kaum Peodal yang dianggap sudah ketinggalan jaman.

Oleh kanjeng Sunan Kalijaga, Joko Supo kemudian di-islamkan.  Ia pun diajak mengembara dan menjadi murid terkasih sunan Kalijaga.  Karena tubuhnya penuh luka yang dalam bahasa Jawa disebut "Gudigen", maka ia sering disebut santri Gudig atau menurut istilah masyarakat Cirebon dinamakan santri Undig.

Sebenarnya dalam pengembaraan itu selain mencari Wahyu Wijayakusuma, sunan Kalijaga juga sedang mencari keris pusakannya yang bernama Kanjeng Kyai Tilam Upih.  Pusaka ini "Murca" dari warangkanya.  Dari sasmita batin yang didapat sang sunan, pusaka ini berada di sebuah pulau di Pantai Selatan Jawa.  Dan petunjuk itu semakin jelas, ketika sunan Kalijaga dan Joko Supo sampai di kadipaten Donan yang kala itu penduduknya masih memeluk agama lama dan tengah dilanda kesedihan.

Ternyata kadipaten Donan sedang berduka, karena wilayahnya diobrak-abrik oleh burung Garuda raksasa yang sering disebut Garuda Beri.  Bahkan burung ini suka memakan manusia.  Oleh sunan Kalijaga, santri Gudig disuruh maju untuk memberantas Garuda Beri dengan meminjam pusaka kadipaten Donan bernama keris kanjeng Kyai Tilam Upih.

Diceritakan, Garuda Beri berhasil dibunuh dengan tongkat Cis dan keris Tilam Upih.  Setelah berhasil membunuh Garuda Beri, santri Gudig dan sunan Kalijaga yang selalu berdiri dibelakang layar kembali ke Demak.  Dan beberapa petilasan kedua orang agung ini masih ada hingga sekarang, seperti pohon Ketapang yang sampai condong, dinamakan Ketapang Dengklok.  Pohon ini masih hidup hingga sekarang dan dikeramatkan.

Ada juga sungai tempat burung Garuda Beri mati seperti terpanggang di atas kayu yang terhanyut.  Tempat ini dinamakan sungai Panggang.  Dikisahkan pula, setlah berhasil membunuh Garuda, tubuh santri Gudig penuh darah.  Oleh sunan Kalijaga ia disuruh mandi di laut.  Ajaib, seketika itu sakit gudignya hilang.  Ia pun berganti nama menjadi Bagus Santri.  Setelah sembuh dari sakit gudignya Bagus Santri ini ternyata pemuda tampan.  Kelak ia akan dinikahkan dengan adik sunan Kalijaga yakni Dewi Rasawulan dan namanya kemudian dikenal sebagai Mpu Supo Mandrangi.

Jejak Bagus Santri atau yang dulunya dikenal sebagai santri Gudig, maka di kadipaten Donan, jasanya dibuatkan semacam makam yang terkenal dengan nama makam Dhaon Lumbung.  Di samping monumen legendaris ini ada makam yang tak jelas siapa yang dimakamkan disitu.  Makam ini dikenal dengan nama makam Sang Winados.  Diperkirakan ini adalah tempat istirahat sunan Kalijaga yang tak mau tampil ke depan, hanya dibelakanga layar.

Burung Garuda Beri yang mati akhirnya mokswa dan hilangnya fisik garuda itu muncul sekuntum bunga yang sangat indah, ternyata bunga yang dicari-cari selama ini oleh sunan Kalijaga yakni bunga Wahyu Wijayakusuma.  Keris Kyai Tilam Upih tidak dikembalikan ke kadipaten Donan, namun dibawa ke Demak.  Tidak diceritakan bagaimana kejadiannya sampai keris ini bisa sampai di kadipaten Donan dan menjadi pusaka di sana.

Kerjaan Demak Bintoro pun berdiri dengan megah.  Namun sepeninggal sultan Trenggono, terjadi intrik perebutan kekuasaan.  Sebenarnya atas kesepakatan bersama, kanjeng Sunan Kalijaga yang dinobatkan menjadi raja.  Tapi ia menolak dan memilih mendirikan pesantren di Kadilangu.  Ketika itu bunga Wijayakusuma musnah hilang sirna.  Mustika ini baru muncul lagi setelah berdirinya keraton Mataram Islam.

Sementara itu pula keris Kyai Tilam Upih diboyong ke Kadilangu, disandingkan dengan keris Kyai Carubuk, Kyai Gondil dan baju Antakusuma.  Kesemuanya itu merupakan pusaka milik kanjeng Sunan Kalijaga.  Konon Kyai Tilam Upih inilah yang terkenal dengan sebutan keris Kyai Sirikan, pusaka Kadilangu.

Demikianlah sekilas kisah berselimut legenda tentang Bunga Wijayakusuma.  Semoga hal ini akan menambah wawasan kita semua.

Oleh Goenawan, W.E dalam majalah Histeri vol. 09



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan sesuai topik pembahasan.