27 April 2018

MEMBURU BERKAH DI MAKAM SULTAN MAHMUD

Pada saat – saat tertentu, seberkas cahaya menerangi makam keramat ini.  Para peziarah yang kebetulan sedang mengadakan tirakatan pasti melihat sinar putih berbalur hijau yang menyebar di seluruh tempat itu.  Pertanda niat yang akan dilaksanakan pasti terkabul, sebab mereka meyakini sinar tersebut adalah jelmaan Sultan Mahmud sendiri.  Bagi peziarah yang datang dengan maksud kurang baik, akan lari ketakutan selihat sesosok tubuh tinggi besar memegang tombak yang akan menusuknya.

Berada dibawah kekuasaan Perum Perhutani KPH Kebonharjo, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, sebelum memasuki kawasan Wisata Layar yang terletak di areal hutan jati cukup luas itu.  Yang ada dalam benak kita adalah pemandangan hijau dari daun pohon – pohon besar dan kicau burung di atas dahan serta gemericik air di sungai yang mengalir di tengah – tengahnya.  Namun bayangan indah itu hilang ketika memasuki pintu gerbang utama kawasan wisata hutan tersebut.

Sebab gapura yang dibangun cukup artistik ternyata kurang mendapatkan perlakuan sebagaimana mestinya.  Coretan tangan – tangan jahil menambah kesan bahwa gapura pintu gerbang itu semakin tak terawat.  Tidak itu saja, dibawah pintu gapura terlihat tumpukan karung berisi ikan kering hasil melaut warga sekitar yang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan.  Tak ayal, bau amis yang menusuk hidung langsung menyebar teriup angin, menambah kumuhnya wajah bangunan itu.  Maklum, jarak antara gapura dengan dermaga pendaratan perahu nelayan hanya dipisahkan oleh lebar jalan yang tak lebih dari delapan meter.

Untuk menuju ke tempat tersebut diperlukan persiapan fisik yang cukup.  Sebab jalan sepanjang lima kilometer jalan yang harus dilalui penuh batu dan menanjak.  Memasuki Gapura Wisata Watu Layar yang terlihat hanyalah hamparan tanah gersang yang hanya ditumbuhi rumput dan pohon kecil serta tanaman perdu.  Hutan yang dulunya jadi primadona kini tinggal kenangan. Sebagian lereng bukit kini telah berubah fungsi menjadi tanah garapan dan sisanya penuh dengan patok – patok yang bertuliskan nama pemiliknya. 

Setiap tengah hari, terlihat dari kejauhan perahu – perahu nelayan setempat seakan berlomba untuk sampai ke bibir dermaga lebih dulu.  Sementara para tengkulak dan juragan sudah menyiapkan setumpuk uang untuk melakukan transaksi.  Suara gaduh bercampur dengan bau amis mewarnai kehidupan sehari – hari mereka.  Beberapa warung makanan dan minuman yang sudah dibuka sejak pagi tampak mulai dipadati para nelayan.  Sayang pemandangan alam ini ‘rusak’ dengan hadirnya beberapa wanita berdandan menor dengan senyuman yang menggoda menjajakan diri.

Mereka bukan warga asli sini Mas.  Mereka hanya datang kemari tidak setiap hari, hanya pada waktu tertent saja.  Terutama saat mulai musim melaut, sebab para nelayan waktu iru sedang banyak duit.  Biasa Mas, kalau ada gula pasti ada semut, ujar Amin (25), pemuda yang ditemui dilokasi dermaga.
Makam Raja Minangkabau
Berjarak tiga kilometer dari pintu utama Watu Layar, ternyata masih terdapat situs yang sampai kini masih tetap terpelihara kelestariaannya.  Oleh masyarakat setempat, tempat peninggalan budaya itu biasa disebut dengan nama ‘Jejeruk’.  Menurut cerita  yang berkembang turun temurun, di tempat itu disemayamkan sepasang bangsawan dari trah Kerajaan Minangkabau yang bergelar Sultan Mahmud beserta permaisurinya.

Untuk bisa mencapai lokasi ini diperlukan perjuangan yang lumayan berat.  Jalan menanjak dan berbatu selebar dua meter ini telah beberapa kali merontokkan kendaraan yang mencoba melewatinya.  Meski berada diatas bukit, makam bangsawan ini tidak pernah sepi peziarah dari berbagai daerah di luar Kabupaten Rembang, terutama padas etiap malam jumat wage.  Kebanyakan para peziarah tersebut datang ke makam untuk ngalap berkah, dan sebagian pengunjung lain yang datang hanya untuk berwisata.

Dan kebanyakan mereka yang datang tersebut, mengetahui keberadaan makam keramat itu dari mulut teman atau kerabat yang terlebih dulu berziarah dan mendapat kharomah dari Sultan Mahmud yang terkenal sakti mandraguna.  Sehingga apa yang diharapkan dapat terkabul berkat ritual yang dilakukannya di makam keramat tersebut.  Dari pengalaman itu, tak heran meski dibawah sengatan terik matahari, tak menyurutkan niat mereka untuk mendaki perbukitan gersang ini.
Sinat Putih
Seperti pengalaman Muntahar (39), lelaki asal Rembang, Jawa Tengah yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) beberapa bulan lalu pada perusahaan bus tempatnya bekerja.  Pada WM, mantan sopir bus jurusan Surabaya – Seamarang ini mengaku putus asa dalam menghidupi keluarga akibat PHK tersebut.  Saya hampir putus asa menghadapi cobaan yang silih berganti ini Mas, apalagi kondisi saya saat itu sedang tidak bekerja.  Untung saya punya istri yang mau mengerti keadaan, ia membantu usaha dengan dagang kecil – kecilan.  Meski begitu usaha ini hanya dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari – hari.  Saya sangat bersyukur punya istri seperti dia, katanya mengawali cerita.

Dengan penghasilan yang pas – pasan tersebut, laki – laki yang sudah sembilan tahun bekerja sebagai sopir ini tak henti – hentinya berusaha.  Lewat beberapa teman dekatnya ia beusaha mendapatkan pekerjaan.  Namun sayang, tak seorang pun dapat mencarikan atau memberitahu adanya lowongan pekerjaan.  Untung tak dapat diraih rugi  tak dapat ditolak, dari seorang kenalannya ia mendapat solusi untuk berziarah ke Makam Sultan Mahmud.

Waktu itu tanpa membuang waktu saya berangkat berziarah bersama istri.  Dan atas saran juru kunci saya harus melakukan tirakatan selama tiga hari di makam keramatb ini.  Karena ingin keluar dari kesulitan hidup, akhirnya syarat itu saya laukan juga, kenang lelaki kalem ini.  Aneh, pada hari ketiga sebelum mengakhiri lelaku, saya melihat sinar berwarna kehijauan yang bergerak mendekat.  Dan setelah tepat dihadapan saya, sinar itu mendadak berubah wujud menjadi sosok lelaki bersaha dengan pakaian kebesaran kerajaan tersenyum memandang saya.  Sayang, sesaat kemudian sosok penuh wibawa itu hilang, imbuhnya.

Segera ia meninggalkan makam tersebut dan menemui sang juru kunci.  Setelah bercerita panjang lebar, ia mendapat penjelasan bahwa tirakat yang dilakukannya diterima oleh khodan Sultan Mahmud.  Dijelaskan  juga sesampai di rumah dan dalam tidur malam, ia akan mendapat firasat tentang usaha yang harus dijalani.

Benar, saat tidur ia seakan didatangi sosok orang yang sama dalam ritual yang dilakukan terdahulu di makam keramat Sultan Mahmud.  Dalam mimpi itu sepertinya ia mendapat hadiah berupa barang – barang antik bernilai berjutaan rupiah.  Setelah itu sosok lelaki lemah lemnbut itu berpesan  agar menjaga dan merawat pemberiaanya , sesaat kemudian ia berubah kembali menjadi sinar kehijauan dan terbang menghilang dari pandangannya.

Itula cerita pengalaman saya sebelum menjadi pengusaha barang antik ini Mas.  Semua berkat bantuan teman seprofesi yang lebih dulu berhasil untuk mengenal tempat ini.  Tapi pertama kalinya ya jadi, makelar dulu.  Maklum modalnya pas – pasan, setahun kemudian baru saya bisa mendirikan toko dan berkembang menjadi seperti sekarang, kenangnya.  Dulu saya harus berburu dan memasarkan sendiri barang – barang anti tersebut.  Pernah saya mengalami sebulan tak mendapatkannya, ya sebulan saya bersama keluarga puasa.  Tapi setelah ingat pesan Sultan Mahmud yang diterjemahkan juru kunci, saya jalani terus usaha ini.  Alhamdulillah saya sudah bisa menyekolahkan anak – anak dan hidup berkecukupan, lanjutnya.

Pengalaman lain juga sempat dialami oleh Solichan (37), seorang peziarah asal Surabaya yang ditemui dilokasi makam.  Pada WM, lelaki dengan pembawaan tenang ini mengaku mendapat ketenangan batin dan kedamaian dalam menjalankan usahanya.  Hampir setiap bulan ia selalu menyempatkan diri untuk melakukan ritual dimakam keramat tersebut.  Ya semua itu saya lakukan sebab petnujuk – petunjuk tentang hari depan usaha dan keluarga saya sangat tepat dan terbukti nyata, cetusnya dengan nada yakin.

Dan yang memmbuatnya bertambah yakin akan keampuhan makam ini, yakni dapat sembuhnya sang ibu dari serangan kanker kandungan akut yang diderita.  Sudah banyak dokter yang didatangi dan biaya dikeluarkan. Tapi sampai saat itu tak satupun usaha keluarganya berhasil.  Bahkan oleh dokter – dokter yang menangani penyakit tersebut, menjatuhkan vonis usia ibunya itu tak kan lebih dari empat bulan.  Bagai disambar petir di siyang bolong, ia dan keluarga hanya bisa tertunduk lesu mendengar keterangan tersebut.  Selanjutnya seluruh keluarga sepakat untuk mencari penyembuhan lewat media alternatif.  Beberapa waktu kemudian, lagi – lagi usaha itu juga tak membuahkan hasil.  Namun tanpa diduganya, dalam perjalanan pulang dari rumah seorang kyai asal Jombang, ia bertemu teman bisnisnya dalam bidang penjualan material bangunan.  Teman tersebut menyarankan untuk mencoba mencari obat lewat ritual di makam Sultan Mahmud tersebut.

Tanpa buang waktu lagi, keesokan harinya Solichan berangakat menuju makam yang terletak di atas bukit dalam wana wisata Watu Layar, Kabupaten Rembang.  Lewat petunjuk yang dikatakan juru kunci ia mulai bersila di samping pusara dan sesaatb kemudian melakukan hening.  Di hari ketiga tirakatnya, tiba – tiba ia melihat seberkas sinar kehijauan yang bergerak mendatanginya. Dan setelah berada tepat dihadapannya, ternyata sinar tersebut berubah wujud menjadi sosok lelaki berpakaian pangeran.

Waktu itu saya sempat kaget juga dengan kedatangannya, tapi setelah ingat untuk tidak membatalkan tirakat saya berusaha tetap bertahan dari keinginan untuk secepat mungkin meninggalkan makam.  Selang beberapa saat kemudian lelaki bersahaja ini mengulurkan tangan meyalami saya.  Tanpa buang waktu saya raih tangannya, begitu menyentuhnya hati saya terasa damai dan tentram.  Tak ada lagi kekuatiran pada penyakit ibu saya Mas, kenangnya.  Saya tambah kaget dan bingung mednapat penjelasan juru kunci.  Sebab menurutnya obat ibu sudah ada ditangan saya.  Tapi setelah dijelaskan lebih detail, baru saya mengerti Mas, obat ibu sudah ada ditangan saya dan diberikan oleh Sultan Mahmud sendiri.  Sesampai di rumah dan perut ibu saya , saya elus – elus hasilnya manjur Mas, penyakitnya berangsur – angsur sembuh.  Sebagai bentuk rasa terima kasih kepada Allah SWT dan penghormatan pada Sultan Mahmud , untuk sering melakukan ritual di makam ini sampai sekarang, lanjutnya dengan wajah berseri.

Murid Sunan Bolang
Menurut Harto Supardi (88), seorang linuwih yang dipercaya sebagai penanggung jawab dan juru kunci makam ini yang ditemui di rumahnya menuturnya, keberadaan nama Jejeruk tersebut memang tak dapat dilepaskan begitu saja dari peran Sultan Mahmud dan permaisurinya.  Waktu masih hidup Ayahandanya yang bernama Sultan Rahman berpesan kepadanya untuk mencari wali yang ada di tanah Jawa, selain tugas penting lainnya yakni menterjemahkan kitab milik ayahandanya itu, ujar Harto Sumardi mengawali cerita.

Dalam sejarahnya, Sultan Mahmud adalah putra mahkota dari Sultan Abdul Rachman, raja Kerajaan Minangkabau.  Setelah ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Minangkabau menggatikan ayahandanya.  Perjalanan seorang Sultan harus dijalani dengan banyak rintangan, belum lama menjabat menjabat sebagai Sultan, ia harus berangkat meninggalkan istana untuk melaksanakan pesan almarhum ayahnya.

Dengan ditemani beberapa kerabat dia menuju tanah Jawa dengan perahu layar mereka mengarungi samudra luas.  Berkat kesaktian yang dimiliki  perjalanan yang seharusnya ditempuh dengan berbulan – bulan dapat dicapai dalam hitungan hari, tak berlangsung lama perahunya merapat di dermaga pelabuhan Banten.  Segera ia menemui Raja Banten untuk diminta bantuannya menerjemahkan kitab berbahaasa arab warisan orang tuanya.

Sayang sang Raja tidak mampu menerjemahkannya. Selanjutnya perjalanan dilanjutkan menuju Cirebon, kejadian serupa juga dialami Raja Cirebon.  Ternyata ia juga tidak mampu menerjemahkan kitab itu.  Hampir saja Raja muda ini patah semangat kalau saja kerabatnya tidak mengusulkan putar haluan menuju Bonang.  Keberadaan Bonang sendiri di kenal Sultan Mahmud dari Raja Cirebon.

Singkat cerita sebelum mereka memasuki pesisir pantai Bonang, tanpa diduga sebelumnya rombongan Bangsawan Minangkabau ini dilanda badai besar yang menghantam kapal mereka, banyak barang – barang berharga hilang termasuk didalamnya kitab berbahasa arab warisan almarhum ayahnya.  Melihat kenyataan ini Sultan Mahmud sangat berduka, namun dengan sia – sia semangat  yang ada mereka tetap merapatkan kapalnya di pesisir pantai Bonang.

Sebelum melangkahkan kaki memasuki Bonang, ia bertemu dengan seorang pencari ikan di pantai itu.  Dan oleh sang pencari ikan ia ditanya maksud dan tujuan kedatangannya.  Sultan Mahmud kemudian menceritakan perihal musibah yang dialami.  Setelah mendengar ceritanya, pencari ikan tersebut segera membuka tepis tempat ikannya.  Sontak Sultan Mahmud kaget melihat isinya.  Ternyata kitab yang hilang diterjang badai itu ada di tangan sang pencari ikan yang baru ditemuinya.

Saat itu Sultan Mahmud langsung ditanya apakah buku ini miliknya, dan dengan diliputi rasa heran ia menganggukkan kepala.  Selanjutnya ia baru tahu kalau pencari ikan itu bukan orang sembarangan, sebab ialah sunan Bonang.  Dari pertemuan ini Sultan Mahmud yakin inilah orang yang dimaksud sang ayahandanya sebelum meninggal, papar Mbah Harto, panggilan akrabnya.

Kemudian ia dipersilahkan untuk istirahat di rumahnya. Sayang, Sunan Bonang tidak bisa mengantar sampai kedalam. Sultan Mahmud hanya diberitahu di depan rumahnya tumbuh pohon kemuning.  Sultan Mahmud benar – benar terkejut melihat rumah sang sunan yang sangat sederhana.  Antara percaya dan tidak dia segera masuk ke dalam rumah Sunan Bonang.

Ia bertambah takjub dan terperanggah melihat rumah sederhana itu, keindahan istananya di Minangkabau tergambar jelas didalamnya.  Malam itu kitab warisan irang tuanya disampaikan pada Sunan Bonang dan kitab itu diterjemahkan sedemikian rupa , melihat kemmapuan dan cara menerangkan kitab itu , ia semakin tak percaya dengan apa yang dilihat dan didengarnya.  Melihat semua itu, akhirnya Sultan Mahmud sujud dan selanjutnya berguru pada Sunan Bonang.

Beberapa hari kemudian setelah beristrahat Sunan Bonang mengajak jalan – jalan , sebelum sampai pada tempat yang di tuju dia berpesan agar Sultan Mahmud bersedia menunggunya.  Sebelum berpisah ia diberi dua buah klungsu, ternyata kepergian Sunan Bonang tidak dalam hitungan hari, kepergiannya sampai bertahun – tahun bahkan klungsu (biji asam,Red) dalam genggaman Sultan Mahmud sudah berubah menjadi dua buah pohon asem berukuran besar.

Setelah Sunan Bonang kembali, langsung ia bertnaya kepada Sultan Mahmud, berapa lama kamu saya tinggal. Oleh Sultan Mahmud dijawab belum begitu lama hanya lepas dhuhur sampai asyar saja.  saat Sunan Bonang kondisi tubuh Sultan Mahmud  penuh ditumbuhi berbgai tumbuhan hutan.  Karena tubuhnya sudah tak kelihatan dan penuh dengan tumbuhan , tempat itu sekarang terkenal dengan sebutan keramat Mbah Rimbung, tambah laki – laki berperawakan kekar meski usianya sudah memasuki senja.

Saat itu Sultan Mahmud memerintahkan pada kerabat yang mengawalnya untuk kembali ke Minangkabau.  Ia hanya berpesan pada orang kepercayaannya untuk menyampaikan pada istrinya, ia boleh tetap tinggal di Minangkabau atau menyusulnya ke Bonang. Ternyata istrinya memilih untuk menyusulnya, sesampainya di Bonang dia merasa terkejut dengan kondisi suaminya yang berdiri jejer (tegak seperti patung, Red) layaknya orang yang sedang bertapa. Sebagai bentuk rasa setia pada suaminya, sang permaisuri rela duduk bersimpuh ( teru – teruk, Jawa) tepat didepan suaminya.

Gabungan dari kata jejer dan teruk – teruk inilah dalam perkembangan selanjutnya menjadi Jejeruk. Sejak saat itu tempat ini menyandang nama Jejeruk sampai sekarang.  Sebab itu , tempat tersebut sangat dikeramatkan warga setempat, ungkapnya.  Dan pada hari – hari yang masih dianggap keramat makam ini sering diziarahi orang Mas.  Tapi hati – hati , jangan sampai melakukan ziarah untuk tujuan kejahatan.  Pasti akan mendapat marah dari penunggu makam berupa sosok lelaki tinggi besar yang membawa tombak terhunus. Sudah banyak yang lari tunggang langgang menyelamatkan diri dari kejaran lelaki misterius itu.  Mungkin kalau tidak lari, orang tersebut sudah di tusuk tombak, tambahnya.

Keterangan lain mengatakan, nama asli dari Kyai Jejeruk yakni Sultan Abdul Rachman yang tak lain adalah Sultan Mahmud sendiri, seorang Raja dari Minangkabau. Setelah di tinggal wafat oleh ayahandanya , ia mendapat warisan berupa kitab berbahsa arab yang tidak dimengerti maknanya. Dalam pencarian makna sekaligus menterjemahkan kitab ini ia berkelana ke tanah Jawa.

Dalam beberapa kali pengembaraannya akhirnya bertemu dengan Sunan Bonang yang selanjutnya mengambilnya sebagai murid hingga akhir hayatnya dan dimakamkan di Bonang.  Bersamaan dengan wafatnya Sultan Mahmud , banyak orang linuwih percaya bahwa di tempat itu juga ikut dikubur tombak pusaka miliknya.  Tiga tahun lalu pernah beberapa orang linuwih pernah mencoba untuk mendapatkan benda pusaka itu Mas, sayang semuanya tak berhasil mendapatkannya.  Entah mengapa, yang jelas salah satu dari mereka hampir tewass, saat berusaha merebut benda pusaka itu, paparnya.
***
Wahana Mistis No. 50/III

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan sesuai topik pembahasan.