15 April 2019

UBO RAMPE SELAMATAN MITONI ATAU TINGKEBAN

Slametan tujuh bulan kandungan disebut juga mitoni, berasal dari kata pitu (tujuh). Disebut juga Tingkeb atau tingkeban. Tingkep berarti tutup, ada yang memaknai tingkeban ini sebagai upacara atau slametan penutup, padahal dalam primbon ada slametan dalam setiap bulannya. Ada juga yang memaknai tingkeban ini penutup karena setelah usia kandungan tujuh bulan si isteri tak boleh lagi dicampuri oleh suaminya sampai masa nifas berakhir.
Dalam slametan tujuh bulan, syaratnya cukup banyak dan padat.
Antara lain:
1. Dipilih hari Rabu atau Sabtu dengan tanggal ganjil sebelum 15
2. Si ibu dimandikan keramas dengan air kembang setaman, tepung beras mancawarna (tujuh macam warna), mangir, daun pandan wangi dan daun kemuning. Yang memandikan adalah dukun atau kerabat yang paling tua dengan siwur (gayung batok kelapa).
3. Ketika dimandikan si ibu duduk di atas tikar beralaskan daun apa-apa, keluwih, kara, dadap srep, ilalang dan beraneka jenis kain. Kainnya antara lain letrek, jingga, banguntalak, sindur, sembagi, selendang lurik puluhwatu, yuyusekandang dan mori putih.
4. Sesajen berupa nasi kuluban dan jajan pasar
5. Bubur merah, putih dan procot
6. Berbagai macam ampyang (nasi kering, ketela, kacang, wijen) yang digoreng sangan (tanpa minyak) dan dicampur gula merah
7. Emping ketan digoreng sangan dicampur gula merah dan parutan kelapa
8. Tumpeng robyong (dalam cething nasi) berlauk telur rebus, ikan, terasi, disertai bawang merah dan cabai yang ditusuk lidi dan diletakkan di pucuknya. Di lerengnya diberi ikan, krupuk dan berbagai macam kuluban.
9. Penyon (semacam kue lapis kue beras)
10. Sampora (kue berbentuk tempurung dari tepung beras, diisi gula merah)
11. Pring sedapur (kue tepung beras berbentuk tumpeng kecil berjumlah 9 pasang ditanami batang kecil 7 warna dari tepung beras) Selain itu disiapkan sebuah kelapa gading yang digambari wajah dewa Kamajaya dan Dewi Kamaratih, atau Arjuna dan Sembadra atau Panji dan Candrakirana. Si ibu hamil berganti kain setelah mandi, perutnya diikat longgar dengan lawe merah, putih dan hitam. Kemudian dukun atau mertuanya menjatuhkan teropong (alat memintal benang), diterima oleh ibu itu sendiri/dukun. Sambil mengatakan: pria atau wanita pun mau asalkan selamat. Lalu dijatuhkan kelapa gading bergambar tadi sambil berkata: jika pria seperti Kamajaya, Arjuna atau Panji; jika wanita seperti Kamaratih, atau Sembadra atau Candrakirana.

Setelah itu ibu hamil tadi memakai 7 helai kain secara bergantian. Dari kain pertama sampai ketujuh orang tuanya mengatakan: belum pantas. Kain tadi dibiarkan berserakan dan diduduki. Setelah itu baru memakai kain lagi sebagai kemben, tak berbaju, tak berhias maupun memakai perhiasan apapun. Setelah itu orang tuanya berkata: sudah pantas, sudah pantas. Di samping hidangan-hidangan tadi, ada juga acara makan rujak buah. 

Kepercayaan mitologi dari sebagian masyarakat Jawa, di saat ibu hamil makan rujak, jika dia merasa pedas atau kepedasan, maka besar kemungkinan bayi yang dikandung adalah laki-laki, demikian juga sebaliknya. Dalam tradisi lainnya juga, hingga kini masih diamalkan di desa-desa, setelah upacara tujuh bulan perempuan hamil selalu membawa pisau kecil atau gunting agar tidak diganggu oleh hyang jahat.

Buku "Jin Hakekat Bukan Khurafat"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan sesuai topik pembahasan.