2 Januari 2019

PUNAHNYA TRADISI KEILMUAN HURUF PEGON NUSANTARA

Arab pegon, Arab Melayu, atau Huruf Jawi merupakan simbol dari keilmuan pesantren. Di dalam sejarahnya, Arab Pegon merupakan sarana untuk transfer ilmu, terutama di kalangan pesantren. Bahkan di wilayah-wilayah Melayu seperti Pattani, Riau, Malaysia, dan Brunei, dokumen-dokumen kenegaraan, kisah-kisah, dan lainnya ditulis menggunakan aksara Arab Pegon.

Chambert-Loir, seorang ahli perpusatakaan dari Perancis, memperkirakan bahwa karya yang ditulis menggunakan Arab Pegon ada sekitar empat ribu buah naskah. Ismail Husain menyebutkan ada lima ribu buah naskah Arab Pegon. Sementara, Russel Jones memperkirakan ada sepuluh ribu buah naskah. Naskah-nashkah tersebut tersebar di 28 negara: Afrika Selatan, Amerika, Austria, Australia, Belanda, Belgia, Brunei, Ceko-Slovakia, Denmark, Hongaria, India, Indonesia, Inggris, Irlandia, Italia, Jerman, Malaysia, Mesir, Norwegia, Polandia, Prancis, Rusia, Singapura, Spanyol, Srilanka, Swedia, Swiss, dan Thailand.

Konferensi bahasa yang diselenggarakan tahun lima puluhan di Singapura mengukuhkah kedudukan dan penggunaan aksara romawi. Sejak saat ini, peran aksara Arab Pegon menjadi tergantikan. Semua penerbit koran, majalah, dan buku dengan terpaksa mengganti aksara Arab pegon dengan huruf Romawi. 

Untuk memperluas wawasan tentang Arab Pegon dan tradisi keilmuan pesantren, kami mewawancarai Ahmad Baso, seorang ahli naskah dan penulis buku-buku tentang pesantren. Berikut petikannya:

Di Acara Ijtima’ Ulama Nusantara ke-2 di Malaysia 2007 lalu, KH Maimoen Zubair bahwa kelestarian Arab Pegon pada tahap kritis dan mulai ditinggalkan. Apakah betul eksistensi Arab Pegon saat ini seperti itu?

Memang sekarang eksistensi Arab Pegon memprihatinkan karena di pesantren atau madrasah tidak ada lagi sebuah keharusan untuk kembali mempelajari naskah-naskah nusantara, termasuk yang menggunakan aksara pegon. Sekarang Arab Pegon mulai terancam punah pembelajaran naskah pegon.

Pembelajaran menggunakan aksara Arab Pegon hanya berdasarkan inisiatif daripada pesantren dan madrasah. Dan itupun tidak banyak. Kalau pun ada pembelajaran pegon, itu hanya terbatas pada kebutuhan santri seperti memakai kitab fasolatannya Mbah Asnawi. Ada juga yang membaca tafsir Ibriz nya KH Bisri Mustofa, namun tidak masif. Artinya hanya pesantren tertentu saja yang mempelajari itu.

Banyak sarjana luar negeri yang belajar pegon untuk mengakses ilmu-ilmu kita, tetapi kita sudah melupakan ilmu-ilmu kita sendiri. Pegon menjadi perantara untuk mengakses ilmu-ilmu kita ditulis para pendahulu kita di Nusantara. 

Pegon bisa menjadi pintu masuk ke dunia keilmuan nusantara, bukan hanya keilmuan Islam saja tetapi juga ilmu-ilmu umum. Itu ditulis dalam aksara pegon. Dulu, misalnya orang Tionghoa menulis sejarah atau cerita rakyat dengan aksara pegon.

Tapi kan ada stigma kalau aksara pegon itu ‘simbol kemunduran’?  

Iya, ada yang menyebut kalau pegon itu kemunduran, ketertinggalan, dan kolot. Tapi masalah-masalah kebangsaan sekarang tidak cukup bisa diselesaikan dengan membaca produk-produk dari Barat, karena orang harus membaca lagi kearifan lokal dan khazanah kenusantaraan. Mereka baru sadar. Seharusnya kesadaran tersebut harus diimplementasikan dengan meningkatkan pembelajaran Arab Pegon.  
  
Di Sumatera, Palembang, dan Aceh sudah mulai ada kesadaran untuk mengkaji kembali naskah-naskah Melayu yang ditulis dalam aksara Jawi-Arab tapi bahasa Melayu. Di Jawa juga seharusnya juga sudah sudah saatnya ada perhatian seperti itu.  

Untuk melestarikan Arab Pegon berarti harus mengkajinya kembali? Bagaimana caranya?

Saya sering sampaikan kepada Kementrian Agama bahwa aksara pegon adalah salah satu pintu menuju ilmunya Islam Nusantara. Pembelajaran aksara pegon bisa dimasukkan ke dalam kurikulum madrasah ataupun pesantren. Kemenag memiliki kewenangan akan hal itu. 

Sekarang sudah saatnya untuk mengajak kembali ngaji kitab pegon agar anak-anak muda kita paham tentang warisan tradisi keilmuan dan peradaban ulama Nusantara dulu. Memang sampai sekarang, di dalam kurikulum juga tidak ada pelajaran mempelajari Arab Pegon.

Kalau tidak ada perhatian dari atas, pesantren atau pengurus-pengurus NU seharusnya mengajarkan pegon lewat program-program ekstrakurikuler sekolah. Cuma belum ada kampanye yang masif. 

Salah satu agenda Hari Santri Nusantara seharusnya melakukan kampanye untuk mainstreaming atau pengarusutamaan Arap Pegon. Sehingga dampak yang ditimbulkannya lebih besar dan masif. 

Di pesantren dan madrasah sendiri kan juga jarang sekali yang menggunakan kitab Arab Pegon untuk bahan kajiannya. Kebanyakan pesantren menggunakan ‘Kitab Arab Murni’ atau kitab kuning.

Sebetulnya Kemenag sudah memberikan batasan-batasan cakupan keilmuan apa saja yang harus dipelajari oleh santri. Ada target dan ujiannya. Praktik, kiai-kiai kita memikirkan kebutuhan praktisnya terlebih dahulu karena standar itu. Standarisasi itu yang sebetulnya merusak.

Untuk mengenal sejarah, identitasm dan jatidiri kita itu tidak hanya cukup ngaji kitab kuning, justru kitab pegon itu yang memberikan kita cara panduan bagaimana suara kita diperdengarkan pas ngaji kitab kuning. Santri ngaji kitab kuning dan mencatatnya menggunakan pegon. Dan mereka melakukan sosialisasi ilmu dengan mengarang kitab pegon yang merupakan penjelasa dan syarah dari kitab kuning. 

Itulah pentingnya pegon. Yakni agar kita tahu bagaimana umat Islam dan ulama Nusantara ini memberikan syarah atau penjelasannya terhadap kitab-kitab kuning. Misalnya Syekh Kholil Bangkalan menulis kitab tafsir dengan aksara pegon. Kalau kita tidak bisa mengakses kitab tersebut, maka kita tidak akan tahu bagaimana Syekh Kholil menafsirankan Al-Qur’an. 

Meski tidak sekolah dasar, tetapi orang tua kita dulu biasa menggunakan aksara pegon untuk surat menyurat. Sekarang, generasi saat ini sudah tidak tahu lagi soal pegon. 

Ada yang mengusulkan untuk melakukan standarisasi Arab Pegon. Bagaimana tanggapan anda?

Standarisasi boleh-boleh saja untuk konteks kekinian, tetapi tidak bisa dijadikan acuan untuk membaca naskah-naskah lama. Standarisasi boleh saja untuk dijadikan pegangan santri menulis di masa depan. Untuk membaca naskah lama, itu tidak bisa. Untuk membaca naskah lama maka harus sering-sering ngaji pegon.

Konferensi Bahasa tahun 50-an di Singapura mengukuhkan aksara Romawi dan ‘menghapus’ aksara pegon yang sudah berkembang. Tradisi keilmuan kita juga diserbu oleh sistem pengetahuan Barat dengan standar ilmiahnya. Bagaimana seharusnya kita menghadapi itu?

Kita pelajari saja aksara-aksara dan sistem mereka, namun mestinya kita tidak terpengaruh oleh mereka. Misalnya Thailand, Jepang, dan China. Mereka tetap mempertahankan aksara mereka, tetapi juga mempelajari sistem keilmuan Barat. Mereka bangsa maju tetapi tidak kiku dengan serbuan budaya modern dan tetap menjaga aksaranya. Baik Thailand, Jepang, ataupun China sangat getol mengampanyekan bahwa aksara mereka adalah warisan nasional.

Israel bekerja keras untuk menemukan kembali aksaranya yang hilang ribuan tahun yang lalu. Mereka mengerahkan ilmuan-ilmuan mereka untuk membangkitkan dan mengkaji kembali aksara Ibrani. Aksara yang sudah punah mereka bangkitkan lagi, sementa kita membuat aksara pegon mati dan membunuhnya di saat itu masih dipakai oleh bangsa kita. Sementara teks-teks kita diangkut oleh Kompeni ke Belanda.

Jadi tidak ada hubungannya antara serbuan modernisasi dengan aksara. Justru dengan aksara itu kita bisa menjaga jatidir dan identitas kita.  

Akhir-akhir ini marak musabaqah kitab kuning dengan tujuan untuk menjaga tradisi keilmuan pesantren atau NU. Pendapat anda seperti apa?

Kalau mau menjaga tradisi keilmuan NU kan tidak hanya kitab kuning, ada kitab Pegon, Jawi, dan yang lainnya. Banyak kiai-kiai kita yang menjaga tradisi NU dengan mengamalkan pegon. Hadratussyekh Hasyim Asy’ari saja menulis dengan aksara pegon. 

Mengapa kitab-kitab pegon tidak dijadikan kitab untuk musabaqah. Misalnya musabaqah ngaji kitab-kitabnya Hadratussyekh Hasyim Asy’ari. Kitab-kitabnya beliau kan ada yang berbahasa Arab dan ada yang pegon. Selain itu juga mengkaji kitab tafsir pegonnya Syaikhona Kholil Bangkalan. Kalau ada medium musaqabah, minat santri untuk mengkaji kembali lebih tinggi.  

Dulu ulama dikenal karena karyanya yang banyak, sekarang ulama yang dikenal masyarakat adalah mereka yang sering tampil di media dan bisa menggalang banyak massa. Apakah ini sebuah degradasi atau memang zamannya sudah berubah?

Masyarakat kita butuhnya sesuatu yang serba cepat ala makanan fast food. Fast food itu tidak bergizi dan itu bukan dari tradisi kita. Kuliner kita bukan hanya mengenyangkan, tetapi juga bergizi bagi tubuh. 

Kecenderungan mubaligh saat ini adalah model fast food. Kalaupun ada mubaligh kita yang seperti syukur, tetapi jangan mengabaikan untuk menjaga tradisi keilmuan kita. Banyak ceramah-ceramah yang ada di televisi, namun itu apakah bergizi atau tidak. Dan itu bisa dinilai dari tingkat kealiman yang berceramah. 

Kalau yang dipentingkan adalah ceramah-ceramah yang mengedepankan kemasan, maka tradisi keilmuan kita akan habis dalam jangka beberapa puluh tahun ke depan. Ceramah-ceramah agama di televisi itu hanya mengenyangkan sesaat bagi mereka yang haus dan lapar spiritual. Tetapi kita harus melakukan yang lebih dari itu, bagaimana kita memberikan ceramah yang mengenyangkan, bergizi, dan tidak hanya kemasan saja.

Oleh: Muchlishon Rochmat Jurnalis NU online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan sesuai topik pembahasan.