20 Februari 2018

MISTERI CANDI BOROBUDUR


Untuk sekadar  meng-ingatkan kembali  bagai-mana pentingnya kita menghargai  sejarah dan benda-benda peninggalan berupa artefak-artefak, candi, prasasti, atau yang lainnya, marilah   kita  melihat  bagaimana Candi   Borobudur   direkonstruksi   se-hingga  menjadi bangunan yang megah dan termasuk tujuh keajaiban dunia.  Untuk meng-awalinya kita perlu melihat bagaimana nama dan Candi Borobudur diketahui. Sekira tiga ratus  tahun  lampau,   tempat  candi   ini  berada masih berupa hutan belukar yang   oleh penduduk   sekitarnya   disebut   Redi   Borobudur.   Untuk pertama kalinya, nama Borobudur diketahui   dari   naskah  Negarakertagama   karya  Mpu Prapanca   pada   tahun   1365 Masehi, disebutkan tentang biara di Budur. Kemudian pada Naskah Babad Tanah Jawi (1709-1710) ada berita tentang Mas Dana, seorang pemberontak terhadap Raja Paku Buwono I, yang tertangkap di Redi Borobudur dan dijatuhi hukuman mati. Kemudian pada tahun 1758, tercetus berita tentang seorang pangeran dari Yogyakarta, yakni Pangeran Monconagoro, yang berminat melihat   arca   seorang  ksatria   yang   terkurung   dalam  sangkar.  Kemudian   pada   tahun   1814, Thomas Stamford Raffles mendapat berita dari bawahannya tentang adanya bukit yang dipenuhi dengan   batu-batu  berukir.

Berdasarkan   berita   itu   Raffles   mengutus   Cornelius,   seorang pengagum seni  dan sejarah,  untuk membersihkan bukit   itu.  Setelah dibersihkan selama dua bulan dengan bantuan 200 orang penduduk,  bangunan candi  semakin  jelas dan pemugaran dilanjutkan pada 1825.  Pada 1834,  Residen Kedu membersihkan candi   lagi,  dan  tahun 1842 stupa candi ditinjau untuk penelitian lebih lanjut.  Mengenai   nama  Borobudur   sendiri   banyak  ahli   purbakala   yang  menafsirkannya,  di antaranya Prof.  Dr.  Poerbotjoroko menerangkan bahwa kata Borobudur  berasal  dari  dua kata Bhoro  dan Budur.  Bhoro berasal  dari  bahasa  Sansekerta  yang  berarti  bihara atau asrama, sedangkan kata Budur merujuk pada nama tempat. Pendapat ini dikuatkan oleh Prof. Dr. WF. Stutterheim yang berpendapat bahwa Borobudur berarti Bihara di atas sebuah bukit. Sedangkan Prof.  JG.  De Casparis mendasarkan pada Prasasti  Karang Tengah yang menyebutkan  tahun pendirian bangunan ini, yaitu Tahun Sangkala: rasa sagara kstidhara, atau tahun Caka 746 (824 Masehi), atau pada masa Wangsa Syailendra yang mengagungkan Dewa Indra. Dalam prasasti didapatlah nama Bhumisambharabhudhara yang berarti tempat pemujaan para nenek moyang bagi arwah-arwah leluhurnya. Bagaimana pergeseran kata itu terjadi menjadi Borobudur? Hal ini terjadi karena faktor pengucapan masyarakat setempat.  

Dalam   pelajaran   sejarah,   disebutkan   bahwa   candi Borobudur   dibuat   pada  masa Wangsa Syailendra yang Buddhis di  bawah kepemimpinan Raja Samarotthungga.  Sedangkan yang   menciptakan   candi,   berdasarkan   tuturan   masyarakat  bernama   Gunadharma. Pembangunan candi itu selesai pada tahun 847 M. Menurut prasasti Kulrak (784M) pembuatan candi ini dibantu oleh seorang guru dari Ghandadwipa (Bengalore) bernama Kumaragacya yang sangat dihormati, dan seorang pangeran dari Kashmir bernama Visvawarman sebagai penasihat yang ahli  dalam ajaran Buddis Tantra Vajrayana.  Pembangunan candi   ini  dimulai  pada masa Maha  Raja   Dananjaya  yang   bergelar   Sri   Sanggramadananjaya,  dilanjutkan   oleh   putranya, Samarotthungga,   dan  oleh   cucu   perempuannya,   Dyah   Ayu  Pramodhawardhani.   Sebelum dipugar,  Candi  Borobudur  berupa   reruntuhan seperti  halnya artefak-artefak  candi  yang baru ditemukan sekarang  ini.  Ketika  kita mengunjungi  Borobudur  dan menikmati  keindahan alam sekitarnya dari atas puncak candi, kadang kita tidak pernah berpikir tentang siapa yang berjasa membangun kembali  Candi  Borobudur menjadi  bangunan yang megah dan menjadi kekayaan bangsa Indonesia ini.  

Pemugaran selanjutnya,  setelah oleh Cornelius pada masa Raffles maupun Residen Hatmann,  dilakukan   pada   1907-1911   oleh   Theodorus   van   Erp  yang  membangun   kembali susunan bentuk candi dari reruntuhan karena dimakan zaman sampai kepada bentuk sekarang. Van Erp sebetulnya seorang ahli   teknik bangunan Genie Militer  dengan pangkat   letnan satu, tetapi  kemudian  tertarik untuk meneliti  dan mempelajari  seluk-beluk Candi  Borobudur,  mulai falsafahnya   sampai   kepada   ajaran-ajaran   yang   dikandungnya.   Untuk   itu  dia   mencoba melakukan studi  banding selama beberapa  tahun di   India.   Ia  juga pergi  ke Sri  Langka untuk melihat   susunan   bangunan   puncak   stupa   Sanchi   di   Kandy,   sampai   akhirnya  van Erp menemukan bentuk Candi Borobudur. Sedangkan mengenai landasan falsafah dan agamanya ditemukan oleh Stutterheim dan NJ. Krom, yakni tentang ajaran Buddha Dharma dengan aliran Mahayana-Yogacara   dan   ada   kecenderungan   pula   bercampur   dengan   aliran   Tantrayana-Vajrayana.  Oleh   sebab   itu,   para   pemugar   harus  memiliki   sekelumit   sejarah   agama   ini   di Indonesia. Penelitian terhadap susunan bangunan candi dan falsafah yang dibawanya tentunya membutuhkan waktu yang tidak sedikit, apalagi kalau dihubung-hubungkan dengan bangunan-bangunan   candi   lainnya   yang  masih   satu   rumpun.  

Seperti   halnya   antara  Candi  Borobudur dengan Candi Pawon dan Candi Mendut yang secara geografis berada pada satu jalur.  Materi candi Candi   Borobudur   merupakan   candi   terbesar  kedua   setelah   Candi   Ankor  Wat   di Kamboja.  Borobudur  mirip bangunan piramida Cheops di  Gizeh Mesir.  Luas bangunan Candi Borobudur  15.129 m2 yang  tersusun dari  55.000 m3 batu,  dari  2  juta potongan batu-batuan. Ukuran batu rata-rata 25 cm X 10 cm X 15 cm. Panjang potongan batu secara keseluruhan 500 km dengan berat keseluruhan batu 1,3 juta ton. Dinding-dinding Candi Borobudur dikelilingi oleh gambar-gambar atau relief yang merupakan satu rangkaian cerita yang terususun dalam 1.460 panel. Panjang panel masing-masing 2 meter. Jadi kalau rangkaian relief itu dibentangkan maka kurang lebih panjang relief seluruhnya 3 km. Jumlah tingkat ada sepuluh, tingkat 1-6 berbentuk bujur  sangkar,  sedangkan  tingkat   7-10   berbentuk   bundar.   Arca   yang   terdapat   di   seluruh bangunan candi  berjumlah 504 buah.  Sedangkan,   tinggi  candi  dari  permukaan  tanah sampai ujung stupa  induk  dulunya 42 meter,  namun sekarang  tinggal  34,5 meter  setelah  tersambar petir. 

Menurut   hasil   penyelidikan  seorang   antropolog-etnolog   Austria,  Robert   von   Heine Geldern, nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengenal  tata budaya pada zaman Neolithic dan Megalithic yang berasal  dari  Vietnam Selatan dan Kamboja.  Pada zaman Megalithic  itu nenek  moyang  bangsa   Indonesia  membuat  makam  leluhurnya   sekaligus   tempat   pemujaan berupa  bangunan  piramida   bersusun,  semakin   ke   atas   semakin   kecil.  Salah   satunya   yang ditemukan di Lebak Sibedug Leuwiliang Bogor Jawa Barat. Bangunan serupa juga terdapat  di Candi  Sukuh di  dekat  Solo,   juga Candi  Borobudur.  Kalau kita  lihat  dari  kejauhan,  Borobudur akan tampak seperti susunan bangunan berundak atau semacam piramida dan sebuah stupa. Berbeda dengan piramida raksasa di Mesir dan Piramida Teotihuacan di Meksiko Candi Borobudur  merupakan   versi   lain  bangunan  piramida.  Piramida  Borobudur  berupa   kepunden berundak yang tidak akan ditemukan di  daerah dan negara manapun,  termasuk di   India.  Dan itulah salah satu kelebihan Candi  Borobudur  yang merupakan kekhasan arsitektur  Budhis di Indonesia.  

Melihat  kemegahan  bangunan  Candi  Borobudur  saat   ini  dan candi-candi   lainnya di Indonesia  telah memberikan pengetahuan yang besar   tentang peradaban bangsa  Indonesia.  Berbagai ilmu pengetahuan terlibat dalam usaha rekonstruksi Candi Borobudur yang dilakukan oleh Teodhorus van Erp. Kita patut  menghargai  usaha-usahanya mengingat  berbagai  kendala dan kesulitan yang dihadapi dalam membangun kembali candi ini. Sampai saat ini ada beberapa hal yang masih menjadi bahan misteri seputar berdirinya Candi  Borobudur,  misalnya dalam hal  susunan batu,  cara mengangkut  batu dari  daerah asal sampai  ke  tempat   tujuan,  apakah batu-batu  itu sudah dalam ukuran yang dikehendaki  atau masih berupa bentuk asli batu gunung,  berapa lama proses pemotongan batu-batu itu sampai pada ukuran yang dikehendaki,  bagaimana cara menaikan batu-batu  itu dari  dasar  halaman candi  sampai  ke puncak,  alat  derek apakah  yang dipergunakan?  Mengingat  pada masa  itu belum  ada   gambar   biru   (blue   print),   lalu   dengan   sarana   apakah  mereka   itu   kalau   hendak merundingkan   langkah-langkah   pengerjaan   yang   harus   dilakukan,   dalam  hal   gambar   relief, apakah batu-batu  itu sesudah bergambar lalu dipasang,  atau batu dalam keadaan polos baru dipahat  untuk digambar.  Dan mulai  dari  bagian mana gambar itu dipahat,  dari  atas ke bawah atau dari  bawah ke atas? Dan masih banyak  lagi  misteri  yang belum  terungkap secara  ilmu pengetahuan, terutama tentang ditemukannya ruang pada stupa induk candi.  
Restorasi di tahun 1974-1983


HARTA KARUN
Pemugaran   selanjutnya   dilakukan   pada   tahun   1973-1983,   selang   70   tahun   dari pemugaran  yang  dilakukan   van  Erp.  Pemugaran   ini  dimaksudkan   tiada   lain   sebagai   upaya melestarikan budaya yang  tak  ternilai  harganya.   Inilah  "harta karun"  yang sesungguhnya  tak bisa dihargai dengan uang apalagi dijual untuk membayar utang. Kesadaran masyarakat untuk ikut  mengamankan  bangunan  candi   sangat  diharapkan   termasuk   juga  dari  para  wisatawan. Penggalian,  penelitian,   dan   rencana   pemugaran   terhadap   candi-candi   atau   benda-benda bersejarah lainnya yang baru-baru ini ditemukan tentunya membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit.  Pemugaran bangunan budaya dan kepurbakalaan  tidak semudah pembangunan gedung modern. Setiap bentuk bangunan budaya memiliki makna yang khusus dan hal ini tidak dapat diabaikan di dalam pemugaran bangunan kuno tersebut. Oleh sebab itu butuh dukungan dari  berbagai  pihak,  baik  dari  dalam maupun  dari   luar  negeri.  

Upaya  membangun   kembali sebuah simbol-simbol  peradaban yang pernah hilang berarti  semakin membuka mata-hati  kita tentang   sejarah  peradaban  manusia   Indonesia   yang   kaya   dengan  ilmu   pengetahuan   dan budaya.  Dengan demikian,  kita akan menjadi  manusia berbudaya yang mampu menghargai budayanya sendiri sebagai bentuk jati diri dan identitas bangsa yang mandiri. Akhirnya,  kita harus membangkitkan kembali  gairah menghargai  benda-benda cagar budaya yang bukan hanya menjadi kekayaan masyarakat dan bangsa, melainkan juga menjadi kekayaan  ilmu pengetahuan yang akan  terus mengungkap  fakta-fakta sejarah  itu.  Menikmati keindahan dan menjaga kelestariannya merupakan salah satu bentuk kepedulian yang sangat berarti.   Tentunya  peran   lembaga   yang   berkaitan   dengan  perlindungan   benda-benda   cagar budaya perlu ditingkatkan dengan memberikan pemahaman, pengertian dan sosialisasi tentang pentingnya menjaga dan melestarikan benda-benda tersebut.  Perlindungan hukum pun harus ditegakkan secara konsisten sehingga tidak terjadi lagi kepincangan-kepincangan hukum yang menyisakan rasa ketidakadilan bagi masyarakat, seperti halnya kasus peledakan Candi Borobudur pada 1983.

Tetap menjadi suatu misteri,sekedar tambahan candi Borobudur adalah candi Buddha terbesar di  dunia dengan tinggi  34,5 meter dan luas bangunan 123 x 123 meter.  Di dirikan diatas  sebuah bukit  yang  terletak  kira-kira 40 km di  barat  daya Yogyakarta,  7 km di  selatan Magelang, Jawa Tengah. Candi  Borobudur dibangun oleh Dinasti  Sailendra antara  tahun 750 dan 842 Masehi. Candi  Buddha  ini  kemungkinan besar ditinggalkan sekitar satu abad setalah dibangun karena pusat  kerajaan   pada   waktu   itu   berpindah   ke   Jawa  Timur.   Sir   Thomas   Stanford   Raffles menemukan Borobudur pada tahun 1814 dalam kondisi rusak dan memerintahkan supaya situs tersebut   dibersihkan   dan   dipelajari   secara  menyeluruh.  Proyek   restorasi   Borobudur   secara besar-besaran kemudian dimulai dari tahun 1905 sampai tahun 1910 dipimpin oleh Dr. Tb. Van Erp.  Dengan   bantuan   dari   UNESCO,   restorasi   kedua   untuk  menyelamatkan   Borobudur dilaksanakan dari bulan Agustus 1913 sampai tahun 1983. Namun,  sampai   sekarang   Candi  Borobudur   masih   menyimpan   sejumlah   misteri. Sejumlah misteri  itu misalnya,  siapa yang merancang Candi  Borobudur,  berapa  jumlah orang dipekerjakan untuk membangun candi tersebut, dari mana saja batu untuk membangun candi ? Filosofi   apa   yang  digunakan   untuk  membuat  candi   tersebut   ?   Tetapi   yang   pasti   candi   ini merupakan aset  penting bagi   Indonesia di  mata dunia  internasional.  Kita harus bangga dan selalu menjaga kelestariannya.
Ebook Kumpulan Misteri Dunia Part I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan sesuai topik pembahasan.